Rabu, 20 Januari 2010

Cerpen "Inaqku Seorang Pembohong"

Siang yang terik menampakkan sinarnya dengan garang. Aku duduk berselonjor diberugaq dengan kakak semata wayangku, seraya menikmati angin sepoi yang dihembuskan oleh pohon nangka yang berdiri angkuh di samping berugaq, kami berdua pun menunggu kedatangan Inaq.
Berselang beberapa saat, bayangan Inaq pun mulai nampak dari kejauhan, yang disekelilingnya dipagari pohon-pohon raksasa hutan. Nampak Inaq memikul seikat kayu yang sudah diambilnya di dalam hitan, lantas terus menelusuri jalan setapak menuju berugaq tempat kami duduk sekarang. Melihat kedatangan Inaq, aku bersorak riang. Ku lihat wajah kakaku pun memancarkan kegirangan.
Sesampai di berugaq, Inaq langsung meletakkan kayu bakar bawaannya. Besok paginya barulah Inaq akan membawa kayu bakar tersebut ke pasar, kemudian dijual untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari. Inaq sudah berperan ganda bagi kami. Menjadi figur seorang Inaq yang penuh kasih sayang sekaligus menjadi figur seorang amaq yang penuh tanggung jawab dan selalu melindungi. Peran rangkap yang Inaq lakoni ini mulai beliau sandang setelah amaq kembali ke pangkuan Ilahi Rabbi.
“Inaq, tiyang lapar” seruku langsung pada Inaq begitu beliau meletakkan kayu bakar bawaannya.
Inaq langsung mengelus kepalaku lantas menciumi pipiku. Keringat yang mengucur di pelipisnya pun menempel di samping telingaku.
“Inaq akan memasakkan nasi untukmu, anakku” begitulah jawaban yang ku terima dari Inaq. Sebuah jawaban yang sungguh membuat hatiku berteriak girang, seiring dengan teriakan-teriakan kecil perutku yang sudah keroncongan.
Setelah berkata demikian, Inaq pun mengajak kami berdua masuk ke dalam gubuk. Sebuah gubuk berdinding bedeq dan beratap rumbia. Gubuk yang berada di tepian hutan di kaki Rinjani, sebuah gunung tertinggi di pulau Lombok.
Di dapur yang berada di bagian belakang rumah kami, Inaq menjejali tungku yang terbuat dari batu bata bersusun, dengan bilahan-bilahan kayu bakar. Setelah tungku menyala, Inaq pun menanak beras yang hanya dua genggam. Aku dan kakakku pun duduk menunggui di depan tungku.
Setelah nasi ditanaq Inaq matang, aku dan kakakku pun mulai makan. Seperti biasa, makan tanpa lauq apapun. Hanya dengan nasi yang disirami air putih kemudian ditaburi garam halus. Sesekali saja kami merasakan nikmatnya makan dengan lauq tempe, itupun jikalau kayu bakar yang Inaq jual laku banyak.
Aku dan kakakku mulai menyantap makan siang kami dengan lahapnya. Tidak peduli dengan makanan ala kadarnya itu. Sebab perut yang sudah terlampau keroncong dan lagi pula hidangan demikian sudah menjadi hidangan rutin yang kami santap setiap harinya. Tak ada gunanya pula aku minta terlalu muluk dengan lauq-lauq yang ku inginkan pada Inaq, sebab ku tahu Inaq selalu saja berbohong padaku.
Kala itu aku pernah merengek minta dibelikan lauq ikan laut. Tentunya dengan sikap kekanakanku yang penuh kemanjaan sebagai anak paling kecil pada Inaq. “Kalau ada uang, Inaq akan membelikannya untukmu” demikian jawaban Inaq yang cukup membesarkan hatiku. Aku girang bukan kepalang. Ku tunggu sampai Inaq memenuhi janjinya untukku. Namun telah sekian bulan waktu itu berlalu, Inaq tak jua membayar janjinya padaku. Kini aku tahu, sepertinya Inaq berbohong.
Kali ini saat menyantap makan siang bersama kakakku, Inaq tidak ikut serta. (akh…maaf, sepertinya tidak bisa disebut makan siang, lebih tepatnya makan harian. Karena memang, dalam sehari kami hanya makan satu kali saja, terkadnag pula saat kayu bakar yang Inaq jual tidak laku, kami tidak makan nasi sama sekali. Hanya cukup mengganjal perut dengan sepotong ubi rebus yang diambil dari dalam hutan).
“Inaq tidak ikut makan?”, tanya kakakku saat melihat Inaq tidak ikut nimbrung bersama kami yang makan pada satu piring
Inaq tersenyum lantas berkata “Makanlah nak, Inaq tidak lapar” demikianlah ucapan Inaq dibalik wajah letih yang coba beliau sembunyikan dari kami. Tatapan beliau sayu, namun tetap coba diperlihatkan dengan tatapan sebening mungkin. Wajah beliau nampak penat, namun tetap diperlihatkan sesegar mungkin padaku. Tubuh beliau nampak lelah, namun tetap diperlihatkan sebugar mungkin dihadapan kami.
Setelah makang siang, Inaq mengajak kami untuk shalar dzuhur. Kami berwudhu di sumur belakang rumah. Inaq yang menimbakan air untuk kami berdua, buah hati beliau yang memang masih terlalu kecil-kecil untuk menerima getirnya hidup ini. Kakakku berumur sembilan tahun sementara aku sendiri masih berumur tujuh tahun. Meskin belum tahu pasti bagaimana getirnya hidup yang kami hadapi, namun sudah merasakan bagaimana pahitnya jalan yang tengah kami lewati. Kepahitan-kepahitan itu sudah mulai kami rasakan disaat harus menahan lapar seharian. Kalaupun makan hanya sekali dalam sehari, makan dengan ala kadarnya saja. Perasaan ingin ikut serta saat melihat anak-anak desa lainnya berlarian menuju sekolah, sementara kami tak pernah mampu seperti mereka yang demikian.
Habis berwudhu aku, Inaq dan kakakku bergantian shalat dzuhur, sebab mukena yang kami miliki hanyalah sebuah. Itupun sudah sangat lusuh. Seusai shalat pun tak lupa Inaq selalu mengajak kami untuk memanjatkan doa pada Rabb semesta alam.
“Anak-anakku, setelah kita harus berdoa pada Allah SWT. Memanjatkan syukur atas nikmat yang dia berikan untuk kita” ucap Inaq seraya mengangkat kedua tangannya dengan posisi menengadah ke atas, seraya aku dan kakakku mengamini.

* * *
Suara binatang malam bersahutan. Gubukku terselubung temaram dengan cahaya redup lampu tempel. Mataku terbuka perlahan. Aku baru saja terbangun dari mimpi indahku. Pikirku ini sudah subuh buta, ternyata hari masih tenggelam dalam larut malamnya. Ku tengok sebelah tempat tidurku, tidak ada orang yang kucari. Mestinya Inaqlah yang berbaring tidur di tempat itu. Lantas kemana beliau pergi malam hari begini? Aku bangun dari pembariangan. Menyeok langkah ke ruang depan. Kudapati pula Inaqku sedang duduk beralas tikar lusuh sedang menganyam daun pandan menjadi tikar.
“Inaq tidak tidur?” tanyaku. Mimik wajah beliau terlihat kaget dengan kedatanganku.
“Mengapa kamu bangun dini hari begini, nak? Tidurlah, Inaq belum mengantuk” jawab beliau dibalik tatapan mata yang sembab dan sayu serta terlihat cukup mengantuk. “Tidurlah di samping Inaq, anakku, Inaq masih harus menyelesaikan anyaman tikar ini agar besok bisa dijual di pasar” lanjut Inaq. Tak urung, akupun mengikuti perintah Inaq, tidur di samping beliau. Terbang kembali bersama alam mimpiku.

* * *
Inaq terbaring lemah di atas pembaringan reot dan sudah termakan rayap. Berselimut lusuh. Aku dan kakakku duduk bersisian di samping Inaq. Kakak memijiti kaki Inaq perlahan, sementara aku memijiti lengan beliau. Ku rasakan suhu badan Inaq terasa panas. Menyaksikan tubuh paruh baya itu terbaring lemah tak berdaya, butiran bening perlahan mengalir di kelopak mataku.
“Jangan menangis nak, Inaq tidak merasa sakit” ucapan lemah itu keluar dari mulut perempuan yang selama ini telah kupanggil Inaq dengan penuh kasih. Meski usia paruh baya yang menggelayuti umur Inaq dengan kulit wajahnya yang tak lagi segar, namun dibalik itu pesona kasih yang beliau pancarkan selalu saja nampak kian bersinar layaknya intan bagi kami.

* * *
Kuntum kamboja gugur perlahan di atas gundukan tanah yang masih merah. Tanganku tengadah ke atas. Sementara butiran bening yang menganak sungai mengaliri pipiku. Di bawah gundukan tanah itu telah bersemayam tubuh seorang hawa yang telah merawat dan membesarkanku dengan segenap cintanya. Meski di balik itu pula Inaq sudah seringkali berbohong padaku.
“Makanlah, nak. Inaq tidak lapar” ucap beliau. Padahal ku tahu seharian itu belum ada makanan yang masuk ke perut beliau.
“Tidurlah, nak, Inaq belum mengantuk” ucap beliau demi menyelesaikan anyaman tikar agar bisa dijual untuk kemudian membelikan beras untuk kami. Padahal aku tahu mata beliau terlihat sembab dan mengantuk.
“Jangan menangis, nak. Inaq tidak merasa sakit” ucap beliau membesarkan hatiku saat beliau terbaring lemah. Padahal aku ingat betul. Setelah mengucapkan kata demikian terdengar halus syahadatain yang beliau baca. Lantas Inaq pun memejamkan matanya, melepaskan genggaman tangannya dipergelangan tanganku, serta mengembangkan sebuah senyuman penuh cinta sebelum akhirnya kemudian arwah beliau terbang bersama malaikat menuju ke pangkuan-Nya.
Terbang pula bersama kebohongan-kebohongan penuh kebajikan yang telah beliau suguhkan untukku dan kakakku demi membesarkan hati kami, buah hati yang telah beliau rawat dengan kasihnya yang penuh keabadian.
* * *

Ket :
Bedeq : Anyaman bambu
Inaq : Ibu
Tiyang : Aku
Berugak : Bangunan yang berada di samping rumah tradisional sasak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar