Rabu, 20 Januari 2010

Cerpen "Sejati itu Cinta"

Hawa dingin yang berhembus dari gunung Rinjani yang terasa meremukkan tulang-tulangku ternyata tak mempan untuk sekedar mendinginkan bara panas yang terasa di dalam dadaku.

“Maafkan tyang Mamiq, bukannya tyang hendak melawan atau membantah keinginan Mamiq. Tetapi sungguh, tyang belum siap untuk melaksanakan keinginan Mamiq tersebut”, sebuah alasan yang terdengar terbata-bata akhirnya keluar dari mulutku
Suasana hening. Belum ada respon dari Mamiq atas perkataanku tadi.

“Baiklah kalau begitu, Mamiq. Mungkin Baiq Adawiyah belum siap dan belum mau untuk memikirkan laju kehidupannya ke jenjang rumah tangga untuk berkeluarga. Lagi pula tyang juga tidak bisa memaksakan kehendak”, demikian Lalu Mahdi, pemuda bangsawan yang malam ini datang midang ke rumahku angkat bicara.

Demikianlah kejadian di berugaq malam itu, selalu saja menghantuiku. Sebenarnya sudah berkali-kali ada pemuda yang datang midang ke rumahku. Namun demikianlah, ketika Mamiq memberiku kesempatan untuk menentukan pilihan, aku selalu menjawab ‘tidak’ lamaran demi lamaran itu. Alasanku selalu saja mengatakan bahwa ‘aku belum siap untuk menikah’.

Entah mengapa setelah Lalu Mahdi midang ke rumahku malam itu, terasa ada sebuah getar dalam dadaku yang menyuruhku untuk menerima lamarannya. Lalu Mahdi ku pandang sebagai seorang pemuda yang berwibawa, penuh tanggung ajwab, sopan-santun, dan begitu taat beribadah. Aku lumayan mengenal kepribadiannya dengan baik disebabkan Mamiqku dan Mamiq Lalu Mahdi bersahabat. Budi pekertinya sering aku dengar dari pujian Mamiq terhadap pribadi dirinya.

Memang ku sadari pada saat diberikan kesempatan untuk menjawab lamaran Lalu Mahdi tersebut ada getar yang mendorong hatiku untuk mengatakan ‘ya’ untuk menerima lamaran itu. Namun entahlah, kata yang keluar dari mulutku justru mengucapkan penolakan terhadap lamaran itu disebabkan oleh dorongan yang begitu kuat dari bagian hatiku yang lainnya. Dorongan semacam apakah di dalam hatiku itu?. Aku pun belum mengerti.
***

Di rong bale dalem…
Mamiq berbaring di atas dipan. Sementara itu aku sibuk memijit kaki dan tangan Mamiq yang semakin hari tampak semakin ringkih.

“Baiq Adawiyah, anakku. Jujur, Mamiq bingung dengan segala keputusanmu yang selalu menolak lamaran setiap pemuda yang datang midang. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini, nak?. Umurmu sudah hampir menginjak usia 30 tahun. Kapan kamu kan menikah?. Mamiq tidak ingin kamu akan dicap sebagai ‘dedare toaq’ oleh orang-orang kampung. Lagi pula, Mamiq sudah sakit-sakitan, nak. Mamiq ingin sebelum nantinya Mamiq pergi menghadap sang Khaliq, Mamiq ingin menyaksikan pernikahanmu. Karena kamu adalah satu-satunya buah hati yang Mamiq miliki”, memecahkan keheninga, Mamiq berbicara panjang lebar padaku.

“Mamiq, tolong jangan berkata demikian. Tyang tidak ingin kehilangan Mamiq setelah tujuh tahun lalu Inaq juga meninggalkan kita. Mamiq, maafkan tyang sekali lagi, tyang memang benar-benar belum siap menikah”, ucapku menanggapi ucapan Mamiq.

“Kanapa, Baiq?. Umurmu sudah cukup matang untuk melangkah ke jenjang pernikahan”.
“Tapi tyang takut, Mamiq”
“Takut?. Takut karena apa?”, Mamiq bingung
“Takut karena cinta”

“Takut patah cinta?, demikian maksudmu?. Kau takut gagal dalam bercinta untuk membangun rumah tangga?. Mamiq yakin kau bisa mencari pemuda yang sejati akan mencintaimu jika memang itu alasannya”

“Bukan, Mamiq. Tetapi karena ada cinta yang begitu terasa suci di hati tyang. Tyang tidak ingin cinta itu ternodai oleh datangnya cinta lain dalam hidup tyang”.
“Cinta untuk siapa?”
“Untuk sang Khaliq”, jawabku singkat. Mamiq tersenyum mendengar jawabanku.

“Anakku, mencintai Rabbimu itu memang sudah kewajiban seluruh ummat. Ketahuilah, anakku, cinta pada Rabbimu akan semakin terasa apabila cinta itu sampai kepada-Nya”.

“Maksud Mamiq?”, aku tak mengerti.
“Menikah adalah sunnah Rasul. Dan syurga seorang istri terletak pada kebaktianmu pada suami, tentunya sebagai wujud dari cintamu pada-Nya. Dan cintamu pun akan tersambut dengan hidayah-Nya”, Mamiq menjelaskan padaku.

Aku terdiam, mencoba untuk meresapi semua perkatan Mamiq tadi.
***

Sebulan kemudian,

Kuntum kamboja berguguran di atas tanah makam yang masih merah basah. Ku harap sosok tubuh yang berteduh di bawah pajang batu nisan itu dapat beristirahat dengan damai.

Sebutir, dua butir, air mata jatuh ke pipiku, kian menganak sungai. Tetapi nun jauh di relung hatiku, aku sangat mengikhlaskan kepergiannya.

“Mamiq, maafkan tyang jika hingga kepergian Mamiq, tyang belum juga melangsungkan pernikahan seperti yang Mamiq amanatkan. Tyang juga minta maaf dengan setulus hati kepada Mamiq mengenai tekad tyang sudah bulat. Hingga akhir hayat pun tyang tidak akan melangsungkan pernikahan itu. Tyang tidak akan peduli apa pun yang dikatakan oleh orang-orang kampung. Entah tyang akan dicap sebagai ‘dedare toaq’ pun tyang tidak peduli. Seluruh sisa hidup tyang akan tyang pergunakan untuk mengabdikan cinta tyang pada-Nya. Tyang tidak mau menikah karena tyang tidak ingin kecintaan tyang kelak pada suami akan mengalahkan cinta tyang pada sang Khaliq. Karena cinta tyang hanya untuk-Nya. Cinta yang begitu tulus dan istimewa”.

***

Kini, sisa umurku yang semakin hari semakin berkurang benar-benar ku pergunakan untuk mengabdikan cintaku pada Sang Rabbi. Duduk terdiam di dalam kamar dengan menghadap kiblat untuk berserah diri pada-Nya dalam kekhusyukan dan keheningan.

“Ya Allah, Ya Tuhanku. Ku abdikan seluruh hidup dan cintaku hanya untuk-Mu. Ku ingin di hatiku hanyalah untuk mencintai-Mu. Aku ingin mencintai-Mu dengan istimewa. Walau ku sadari, mungkin keistimewaan cintaku ini kan bernilai sederhan di hadap-Mu. Sebab, hanya cinta-Mu padakulah yang sepatutnya disebut dengan keistimewaan sebuah cinta. Ku tahu di dunia ini tak akan ku temukan kata sejati, karena semuanya hanya kefanaan semata. Tapi kini aku justru menemukan kata sejati itu di hatiku, yaitu untuk mencintai-Mu. Kata sejati itu ternyata hanya ada pada kata cinta dan cinta yang sejati itu sebenarnyalah hanya datang dari cinta-Mu. Walau mungkin terkadang beribu satu kekhilafan sering hamba-Mu perbuat. Ya Allah, harapku semoga hujan cinta-Mu menyirami tandus kerinduan di hatiku, hingga kelak menemui-Mu”.

Demikian doa dan pintaku pada Rabbi, benar-benar dengan hati yang ikhlas ku abdikan cintaku hanya untuk-Nya. Karena hanya Dialah Sang Pemilik kesejatian cinta itu.
***

Walau sampai akhir hayat ku tak akan memberikan cinta dan hatiku ini pada seorang anak Adam, tetapi ku harap kelak Rabbi akan memberiku seorang pendamping di akhirat, suami dari seorang pemuda penghuni syurga. Sebagai wujud dari cinta-Nya untukku.
Dan rupanya kekuatan cintaku pada-Nyalah yang selalu mendorongku untuk menolak semua lamaran pemuda yang hendak melamarku. ‘Karena cinta’, memang itulah alasanku.
Satu hal lagi, jauh di dasar hatiku yang paling dalam, ku ingin menjadi perawan bau syurga, sosok Rabiatun Adawiyah kedua di dunia ini. Yang mengabdikan seluruh cinta-Nya hanya untuk Sang Khaliq, Allah SWT, pemilik kesejatian cinta.
***

Keterangan :
Tyang : aku, saya (bahasa halus suku Sasak di Lombok)
Mamiq : bapak (panggilan untuk kaum bangsawan)
Baiq : gelar kebangsawanan untuk kaum perempuan
Lalu : gelar kebangsawanan untuk kaum lelaki
Midang : tradisi melamar di suku Sasak, Lombok
Berugaq : bangunan tradisional suku Sasak yang berfungsi untuk menerima
tamu
Rong bale dalem : ruangan di rumah bagian dalam
Dedare toaq : perawan tua
Inaq : ibu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar