Rabu, 20 Januari 2010

Lombok dalam Perspektif Seni Topeng

Topeng secara harfiah berarti penutup muka atau kedok. Kata ini sekarang, baik tersurat maupun tersirat, sering dikutip media massa dari para pengamat yang mengomentari ulah para petualang politik yang penuh kepura-puraan, dan tidak segan-segan mengatasnamakan rakyat guna merahasiakan maksud sebenarnya.
Tetapi topeng Lombok, Nusa Tenggara Barat, bukan berkonotasi seperti di atas, melainkan berhubungan dengan ekspresi seni, punya pesan moral dan nilai estetika.
‘Perisai Wajah’ itu digunakan dalam seni teater tradisional seperti Cupak-Gerantang, Teater Amaq Abir, dan Teater Amaq Darmi. Dua teater disebut terakhir tema ceritanya sama, yakni kritik sosial atas perilaku para tuan tanah terhadap para penyakap (petani penggarap).
Grup gamelan Barong Tengkok juga menggunakan topeng sebagai penghias beberapa instrumennya. Profil wajahnya mirip singa, dan pada bagian punggung belakang terdapat alat musik reong (dua buah). Alat ini bisa dimainkan sambil duduk atau
dibawa berjalan oleh pemain dengan cara tengkok (digendong). Gamelan ini biasanya sebagai musik hiburan pada acara sunatan atau pengiring kelompok prosesi perkawinan adat Sasak yang disebut Nyongkol (keluarga pengantin laki bertandang ke keluarga pengantin perempuan).
Topeng Lombok umumnya ada persentuhan dan kontak sosial antara masyarakat lokal dan masyarakat etnis Bali di Lombok. Orang Bali banyak yang menetap di Lombok sejak
kekuasaan Raja Karangasem Singosari tahun 1692-1839 (Sejarah daerah NTB). Kontak sosial budaya diduga pula berkaitan dengan sejarah masuknya Islam di Lombok. Itu terindikasi dari nama pemain dalam teater tradisi itu seperti tokoh Ida (tuan tanah), Idayu (putri Ida), Jroayan, Tuan Guru (pemuka agama Islam di Lombok).
***
Beragam karakter topeng tradisi ini, meliputi karakter angkara (tamak, rakus) macam topeng Cupak, kemudian watak kuat, bijak, humanis, kharismatis (sakti, berakal
budi) seperti raut topeng Amaq Abir humanis maupun Amaq Darmi. Mungkin nama itu sesuai dengan nama Abir (asal kata akbar) ataupun darmi (darma=kebenaran). Sedang sosok humanis terlihat pada wajah Amaq Tempenges (pembantu Ida dalam teater topeng Amaq Abir). Tempenges agaknya asal katanya tepeng (jujur) dan inges (ganteng).
Fungsi barong tengkok mirip wajah Barong Keket (Bali) atau Barong Banyuwangi saat pertunjukan, itu agaknya untuk penolak bala sebagaimana fungsi motif hias kala pada gerbang candi di Jawa.
Kapan seni topeng atau teater topeng lahir di Lombok, belum diketahui pasti. Namun, buku ‘Seni Topeng di Lombok’ 1995/ 96 terbitan Museum Negeri NTB memperkirakan,
seni topeng di Lombok telah dikenal suku Sasak abad VIII-IX. Ini dikaitkan dengan kejayaan Buddha di Indonesia (Candi Borobudur), maupun bukti adanya pengaruh Buddha (situs Pendua, Kecamatan Gangga, Lombok Barat), yang warganya masih ada yang memeluk agama Buddha sampai kini.
Disebutkan pula, bila dikomparasikan dengan munculnya teater topeng di Jawa semasa Majapahit dan di Lombok sebagai salah satu daerah taklukannya, yang kemudian
memungkinkan interaksi budaya dan kesenian Lombok-Jawa, maka dugaan
sementara teater menggunakan topeng pada masa itu pula. Ini didukung
oleh teater Cupak-Gerantang (tokoh cupak dan raksasa memakai topeng),
yang mengetengahkan cerita panji, yang disadur dari Kitab Smarandhana
ciptaan Mpu Darmaja.
Disinggung pula, pada abad 14-15 dan paruh abad 17 dan 18, setelah Islam masuk Lombok, topeng dipakai sebagai seni pertunjukan rakyat. Ini terindikasi pada tokoh
penghulu dan Tuan Haji (Tuan Guru), figur ulama dan penasihat Amaq Abir
selaku tokoh sentral dalam dalam teater topeng Amaq Abir.
Indikasi lain pada lagu (kayaq) yang disenandungkan Amaq Tempenges (ajudan tokoh Ida-selaku tuan tanah), yang berbentuk pantun terdiri empat baris, yakni dua baris
pertama adalah sampiran, dua baris berikutnya merupakan isi. Berarti
ada pengaruh sastra Melayu, meski dilantunkan dengan laras maskumambang.
Untuk membuat topeng tradisi itu, para pembikinnya masih menaati ‘kaidah lama’ seperti
memilih hari baik biasanya hari pasaran pahing sekaligus arah mana kayu
bakal topeng akan ditebang. Bila pengambilan bahan diambil hari Kamis, maka penebangan menghadap utara (andang daya), hari Jumat, Sabtu dan Minggu masing-masing arah kiblat, barat (bat) dan selatan (lauq). Pembuatan sebuah topeng mesti diselesaikan, baru dilanjutkan mengerjakan topeng jenis lain.
Mungkin penentuan hari dan arah menebang, menitipkan pesan upaya konservasi, mengingat kayu mudah dikerjakan- seperti berserat halus, ringan, tahan terhadap gangguan rayap-sulit diperoleh.
Pesan budaya demikian, ujar Satriah, pemerhati budaya Sasak Lombok, warga Desa Bonjeruk, Lombok Tengah, sama halnya ‘larangan’ membuang air bekas mencuci beras di seputar pohon sirih.
Itu bukan mitis dan takhayul, namun mungkin ada sisa beras ikut terbuang bersama air
cucian. Sisa beras itu bisa jadi pakan semut yang lambat laun memangsa daun sirih. Pesan sama disimbolkan pada nama Prabu untuk kayu nangka, Batara buat kayu suren dan Tumenggung bagi kayu jati. Kearifan ini tampaknya bermaksud menjaga harmoni alam, yang bila kayu-kayu itu ditebang karena harganya mahal, menjadikan petaka bagi sumber daya dan masyarakat sekitar.
***
Di tengah berkembangnya Lombok sebagai alternatif kunjungan wisatawan, seni topeng seakan ‘menemukan’ pasarnya. Para seniman lalu membuat topeng kreasi yang laku di pasaran, terutama untuk hiasan interior. Karakter wajah topeng kontemporer itu agak lain dengan topeng klasik Amaq Abir dan lain-lain. Berbentuk lonjong, mimiknya terkesan seperti orang susah.
Mungkin mimik topeng itu cermin kemiskinan rakyat pedesaan, mengingat karya dan seniman topeng kebanyakan berdomisili di daerah selatan Pulau Lombok yang akrab dengan kepatihan hidup akibat kondisi alam yang kering dan gersang.
Menurut Djoko Prayitno, seniman patung, topeng kreasi baru mulanya dibuat perajin Desa Beleka, Lombok Tengah sekitar tahun 1986. Wajahnya polos, hanya dicat
sedemikian rupa, tanpa tambahan ornamen dan laku terjual.
Tuntutan pasar kemudian menjadikan topeng itu mengalami kreasi agar memenuhi selera konsumen. Para senimanlah yang memiliki peran penting dalam mempermak topeng
tadi. Kreativitas seniman terlihat pada pola hias motif tumpal, diimbuhi bahan kerang laut (cukli) dengan teknik tempel pada bagian dahi atau seputar wajah topeng.
Para pengusaha dengan naluri bisnisnya, melihat polesan itu sebagai penambah nilai estetis dan nilai jual topeng kreasi itu. Apalagi Lombok mulai dikunjungi
wisatawan dalam dan luar negeri, yang kecuali menikmati panorama alam Lombok, juga membeli beragam kerajian hiasan sebagai cendera mata di antaranya topeng kreasi itu.
Seniman pembuat topeng tradisi ikut juga membikin bentuk baru, meski pakem tradisionalnya masih melekat kuat seperti pada caranya memandang, yakni lurus ke depan. Ini agak berbeda dengan topeng kreasi yang kelopak matanya nyaris tertutup, tatapan matanya sayu.
Hanya sentuhan akhir topeng tradisi yang masuk dalam pasaran umum lemah dibanding mutu topeng kreasi. Hal ini bisa dipahami, kata Djoko, karena proses kreatif
seniman tradisi berangkat dari naluri, panggilan, dan pengabdian selaku seniman alam. Peralatannya pun sederhana seperti parang, pemaja (pisau kecil) dan sejenisnya, sehingga mempengaruhi kerapian dan sentuhan akhir karyanya. "Kuas yang dipakai dari bahan kulit kelapa," tutur Djoko.
Juga pewarnaannya cenderung kehilangan arah, membuat karakter tokoh tidak terjiwai oleh pilihan warna yang dipakai seperti warna merah, kuning, dan putih nyaris untuk
semua tokoh. Misalnya memakai dominan warna merah menyala agaknya kurang pas pada karakter tokoh topeng haji, yang lebih cocok bila dilaburi warna hijau karena peran dan sifatnya memberi mental spiritual.
Padahal, kerapian dan finishing merupakan aspek pendukung yang dominan terhadap nilai estetika dan ekonomis karya seni. Kepedulian para seniman yang memiliki ‘kemampuan lebih’ untuk membimbing mereka secara teknis. Dengan demikian topeng
tradisi terangkat pamornya.
Caranya seperti tokoh Semar, Petruk, dan Gareng (Jawa) misalnya, banyak diperdagangkan dalam kemasan mini. Produk figur Amaq Abir bersama satu-dua tiga tokoh lain dibikin setengah bagian dari ukuran aslinya (sekitar 20 cm) dan dijual per unit. Cara ini setidaknya bisa memberi gambaran sekilas tentang peran para figur dalam konteks cerita teater ‘Topeng Amaq Abir’ bagi konsumen.

1 komentar: