Rabu, 20 Januari 2010

PERANG TIMBUNG

Sejarah terjadinya Perang Timbung / Penimbungan ini adalah salah satu fatwa yang dititahkan oleh seorang Raja (Datu) yang berkuasa di sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan Poh Jenggi ( Pejanggiq).
Dikerajaan ini bertahta seorang Raja (Datu) yang sangat arif dan bijaksana, Raja ini bertahta dengan gelar Datu Dewa Mas Pemban Aji Meraja Kusuma ( Datu Pemban Pejanggiq), Kerajaan Pejanggiq adalah sebuah kerajaan fazal dari kerajaan Selaparang yang mempunyai pusat kerajaan di Perigi (Lombok Timur) yang memerintah di Kerajaan Fazal Selaparang ( Pejanggiq ) ini adalah keturunan dari Raja-Raja Selaparang.
Ketika bertahta Dewa Mas Pemban Aji Meraja Kusuma di Pejanggiq ini, kondisi Kerajaan pada waktu itu sedang mengalami mis komunikasi dengan Kerajaan Induk yang akibatnya akan bermuara kepada konflik internal kerajaan.
Sebagai seorang Raja (Datu) yang religie dan fanatik Islam, maka Raja yang arif dan alim ini melalukan persemedian (Tapa Brata/ berhaluat), dimana dalam haluatnya baginda mendapat hidayah dari Yang Maha Kuasa yaitu petunjuk / wangsit bahwa Negeri ini akan ditimpa petaka yang sangat dahsyat dan akan mengalami keruntuhan.

Baginda Raja mengakhiri haluatnya dengan memanggil seluruh pemating, punggawa Kerajaan dan semua Pandite para niormal yang ada untuk mentakbir hidayah yang datang di haluat baginda Raja, hidayah ini dibahas berhari-hari bahkan berminggu, disaat Gondem dilakukan oleh semua perkanggo Kerajaan, muncul salah seorang Pandite sepuh mengajukan usul kepada Baginda yang katanya :
Hamba mohon ampura, jika hamba tidak dipersalahkan, hamba ingin menyampaikan suatu pendapat untuk menyikapi petunjuk yang Baginda peroleh dalam Haluwat, apa gerangan yang akan disampaikan paman pandite ? sabda Raja !
Pandite menyaut pertanyaan Baginda, hamba tidak akan berlebihan, bahwa sesuatu itu adalah rahmat, dan rahmat itu senantiasa diturunkan oleh Allah selalu dengan hikmahnya, demikian pula jika hal ini adalah sebuah Penyakit, maka Allah akan menurunkan penawarnya, Ampun Baginda, hamba terlalu lancang ! tidak mengapa, silakan diteruskan paman ! Pandite melanjutkan, Demi keberlangsungan Gumi Paer Kerajaan Pejanggiq, dan langgengnya kekuasaan Baginda, kiranya apa yang akan terjadi diNegeri ini akan kita antisipasi dengan tumbal, dan tumbal disini bukan berarti mengorbankan sesuatu yang sangat berlebihan, akan tetapi dalam hal ini Baginda cukup dengan bertitah kepada segenap Kawula Kerajaan Pejanggiq untuk melakukan ritual Tolak Balaq dengan membuat Jajan Pelemeng (timbung) yang terbuat dari Beras Pulut / ketan yang dicampur dengan perasan santan kental dan dibungkus dengan bilah bambu.
Baginda Raja mengakhiri Gondem itu dengan membuat kesimpulan yaitu melakukan ritual (upacara) tolak balaq sebagai suatu upaya mengantisipasi bencana / musibah yang akan menimpa Kerajaan Pejanggiq yaitu Upacara Perang Timbung / Penimbungan.
Sang Raja bertitah kepada para Punggawa Kerajaan agar semua Punggawa mengerahkan seluruh kawula masyarakat Pejanggiq agar melakukan Upacara ritual tersebut sebagai wujud inplementasi keputusan gondem, dengan tidak menunda-nunda waktu semua Punggawa dengan segera memukul kentongan (Kul-kul) sebagai pertanda adanya dedawuhan dari Kerajaan, dengan kul-kul semua kalawarga masyarakat Gumi Paer Pejanggiq ketika itu berduyun-duyun mendatangi alun-alun ( lendang galuh) untuk menerima titah Sang Raja (Datu), Datu berinstruksi langsung kepada halayak dengan titahnya berbunyi :
Wahai Saudara-saudaraku yang aku cintai, ketahuilah bahwa pada suatu saat nanti, Kerajaan Pejanggiq ini akan mengalami bencana perpecahan, perpecahan ini akan berakibat kepada keruntuhan Kerajaan, perpecahan ini nantinya akan timbul dari dalam Negeri ini sendiri untuk itu, melalui kesempatan ini, aku titahkan kepada kita semua agar melaksanakan sebuah upacara ritual sebagai upaya antisipasi agar tidak terjadinya bencana itu, caranya buatlah timbung untuk bahan / piranti dari upacara tersebut sebagai wujud persembahan kita kepada Sang pencipta, santuni Anak-anak Yatim/piatu, sayangi orang-orang tua /jompo dan perkuat kebersamaan melalui silaturrahmi diantara kita semua, Upacara ini hendaknya dilakukan setiap tahun dan ditahun itu akan ada tanda-tanda alam seperti dengan berbunganya sebuah pohon besar disekitar makam saya kelak nanti ( Pohon dangah) disanalah kalian lakukan dan jangan sekali-kali melakukan ritual ini pada hari jum’at minggu terakhir pada bulan bersangkutan.
Sabda Raja adalah sabda pandite, sabda pandite adalah andika mulia apapun yang tititahkan Raja maka segenap kalawarga Kerajaan Pejanggiq akan senantiasa melaksanakannya, pantang jika perinatah Raja itu ditolah atau tidak dilaksanakan maka itu adalah berbuatan melawan Tabu (pemali) apalagi perintah melakukan Rital seperti ini.
Nah inilah yang melatar belakangi Ritual Perang Timbung / Penimbungan dilaksanakan sejak dahulu kala hingga saat sekarang ini bahkan upacara rituil Perang Timbung / Penimbungan ini oleh Pemda Lombok Tengah melalui Dinas Instansi terkait di nivo Kabupaten telah diangkatnya sebagai salah satu kegiatan Mayor event pariwisata Lombok.
Pelaksanaannya dapat kami sampaikan melalui gambar / photo peristiwa pelaksanaan rituil perang timbung / penimbungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar