Jumat, 29 Januari 2010

Open Recruitment

Teman-teman, sudah tahukah kamu tentang Indonesian Youth Conference (IYC) yang akan dilaksanakan Juli 2010? Nah, IYC membuka open recruitment untuk para pemuda Indonesia yang ingin ikut secara sukarela (tidak dibayar) membantu acara kami ini sebagai bagian dari committee.
Persyaratannya:

* Semua pemuda Indonesia, siswa SMP-SMA, atau siapapun yang merasa masih berjiwa muda bisa ikut berpartisipasi dan mendaftar menjadi bagian dari kami.
* Yang paling kita butuhkan adalah komitmen dalam acara ini. Jadi, make sure kegiatan kalian di luar acara ini tidak menganggu kinerja kalian di IYC, ataupun sebaliknya.

Posisi yang dibutuhkan:

* Ticketing
mengurus segala urusan tentang ticketing. Dari mengatur jumlah, pendistribusian, sampai menjaga ticketing booth.
* Bazaar & Exhibition
Mencari vendor-vendor bazaar, mengurus penempatan, dan sejenisnya.
* Seminar
Menangani pembicara, perlengkapan seminar (seminar kit, dll).
* Workshop
Sama dengan seminar (mengurus pembicara untuk workshop).
* Sponsorship Staff
Membantu sponsorship staff yang sudah dibentuk sebelumnya untuk mencari sponsor dan dana.
* Cyber Volunteer Coordinator
Mengkoordinasi cyber volunteers yang akan dibentuk nanti.
* Volunteers Coordinator
Mengkoordinasi volunteers yang akan dibentuk nanti.
* Communication Staff
Membantu communication staff yang sudah ada bidang publikasi dan mengkomunikasikan acara IYC kepada khalayak luas.
* Music Perfomance
Menyusun dan mengatur jalannya acara music performance.

Kami membutuhkan:

1. CV
2. 2 (dua) posisi yang diprioritaskan/diinginkan

Pendaftaran bisa dilakukan di halaman http://apply.indonesianyouthconference.org/volunteer/.

Thank you everyone! Pass the information to anyone.

Spread IYC-ers!

Pernah nggak ngebayangin ada suatu pekan dimana kita bisa ketemu dengan seluruh anak muda yang berbakat dan merupakan bibit-bibit masa depan Indonesia? Itulah alasan kenapa saya jatuh cinta dengan IYC. Suatu komunitas dimana saya bisa berekspresi dengan bebas, melontarkan apa yang saya cintai dan benci terhadap lingkungan, protes secara sopan, dan saya benar-benar nggak akan kebayang kalau saya bisa bertemu dengan seluruh pemimpin muda dari Indonesia. Itu luar biasa.

Itu perspektif saya terhadap IYC. Saya nggak tau apa yang membuat kalian ikut andil dalam IYC ini, tetapi saya yakin kalian semua punya harapan yang sama seperti saya untuk membuat IYC berhasil. Di satu pekan, kita bisa bertemu dengan berbagai pahlawan negara dalam bidang-bidang tertentu. Berbagi cerita dan solusi untuk membuat negara kita yang “seharusnya” tidak terpuruk. Membuat suatu perubahan bersama-sama, tangan demi tangan. Buat saya itu indah sekali.

Untuk membantu IYC ini berkembang, saya berharap banget kalian bisa mendukungnya dengan mengikuti:
Forum
http://shout.indonesianyouthconference.org/discussion/forum/iycers
Grup Facebook
http://www.facebook.com/group.php?gid=201583169719&ref=ts
Mailing List
http://groups.google.com/group/volunteersiyc

Dan tolong banget, kirimin domisili kalian supaya rencana roadshow IYC ke daerah-daerah bisa terlaksana lebih cepat. THANKS! :)

Make Your VOICE HEARD!

Dukung IYC di Shorty Awards 2010

Indonesian Youth Conference (IYC) menjadi satu-satunya wakil Indonesia di ajang Shorty Awards 2010. Shorty Awards merupakan sebuah penghargaan bagi individu dan organisasi yang secara maksimal menggunakan situs Twitter.

Kami membutuhkan dukungan dari kalian semua untuk bisa memenangkan ajang ini. Kamu bisa membantu IYC memperoleh Shorty Award di kategori #nonprofit dengan cara memilih IYC di: http://shortyawards.com/indonesianyouth. Voting ditutup pada tanggal 29 Januari 2010, dan IYC wajib berada di dalam posisi 5 besar untuk mencapai tahap selanjutnya.

Apabila IYC sukses melenggang sampai tahap akhir, IYC akan membawa nama pemuda Indonesia di New York, Amerika Serikat, pada bulan Maret 2010 mendatang. Jadi, ayo vote IYC sekarang! Karena sekarang saatnya suara kamu didengar!

By Alanda Kariza
Alanda is the Program Director of Indonesian Youth Conference. She is 18 years old and still studying in Binus International University.

Rabu, 20 Januari 2010

Cerpen "Sejati itu Cinta"

Hawa dingin yang berhembus dari gunung Rinjani yang terasa meremukkan tulang-tulangku ternyata tak mempan untuk sekedar mendinginkan bara panas yang terasa di dalam dadaku.

“Maafkan tyang Mamiq, bukannya tyang hendak melawan atau membantah keinginan Mamiq. Tetapi sungguh, tyang belum siap untuk melaksanakan keinginan Mamiq tersebut”, sebuah alasan yang terdengar terbata-bata akhirnya keluar dari mulutku
Suasana hening. Belum ada respon dari Mamiq atas perkataanku tadi.

“Baiklah kalau begitu, Mamiq. Mungkin Baiq Adawiyah belum siap dan belum mau untuk memikirkan laju kehidupannya ke jenjang rumah tangga untuk berkeluarga. Lagi pula tyang juga tidak bisa memaksakan kehendak”, demikian Lalu Mahdi, pemuda bangsawan yang malam ini datang midang ke rumahku angkat bicara.

Demikianlah kejadian di berugaq malam itu, selalu saja menghantuiku. Sebenarnya sudah berkali-kali ada pemuda yang datang midang ke rumahku. Namun demikianlah, ketika Mamiq memberiku kesempatan untuk menentukan pilihan, aku selalu menjawab ‘tidak’ lamaran demi lamaran itu. Alasanku selalu saja mengatakan bahwa ‘aku belum siap untuk menikah’.

Entah mengapa setelah Lalu Mahdi midang ke rumahku malam itu, terasa ada sebuah getar dalam dadaku yang menyuruhku untuk menerima lamarannya. Lalu Mahdi ku pandang sebagai seorang pemuda yang berwibawa, penuh tanggung ajwab, sopan-santun, dan begitu taat beribadah. Aku lumayan mengenal kepribadiannya dengan baik disebabkan Mamiqku dan Mamiq Lalu Mahdi bersahabat. Budi pekertinya sering aku dengar dari pujian Mamiq terhadap pribadi dirinya.

Memang ku sadari pada saat diberikan kesempatan untuk menjawab lamaran Lalu Mahdi tersebut ada getar yang mendorong hatiku untuk mengatakan ‘ya’ untuk menerima lamaran itu. Namun entahlah, kata yang keluar dari mulutku justru mengucapkan penolakan terhadap lamaran itu disebabkan oleh dorongan yang begitu kuat dari bagian hatiku yang lainnya. Dorongan semacam apakah di dalam hatiku itu?. Aku pun belum mengerti.
***

Di rong bale dalem…
Mamiq berbaring di atas dipan. Sementara itu aku sibuk memijit kaki dan tangan Mamiq yang semakin hari tampak semakin ringkih.

“Baiq Adawiyah, anakku. Jujur, Mamiq bingung dengan segala keputusanmu yang selalu menolak lamaran setiap pemuda yang datang midang. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini, nak?. Umurmu sudah hampir menginjak usia 30 tahun. Kapan kamu kan menikah?. Mamiq tidak ingin kamu akan dicap sebagai ‘dedare toaq’ oleh orang-orang kampung. Lagi pula, Mamiq sudah sakit-sakitan, nak. Mamiq ingin sebelum nantinya Mamiq pergi menghadap sang Khaliq, Mamiq ingin menyaksikan pernikahanmu. Karena kamu adalah satu-satunya buah hati yang Mamiq miliki”, memecahkan keheninga, Mamiq berbicara panjang lebar padaku.

“Mamiq, tolong jangan berkata demikian. Tyang tidak ingin kehilangan Mamiq setelah tujuh tahun lalu Inaq juga meninggalkan kita. Mamiq, maafkan tyang sekali lagi, tyang memang benar-benar belum siap menikah”, ucapku menanggapi ucapan Mamiq.

“Kanapa, Baiq?. Umurmu sudah cukup matang untuk melangkah ke jenjang pernikahan”.
“Tapi tyang takut, Mamiq”
“Takut?. Takut karena apa?”, Mamiq bingung
“Takut karena cinta”

“Takut patah cinta?, demikian maksudmu?. Kau takut gagal dalam bercinta untuk membangun rumah tangga?. Mamiq yakin kau bisa mencari pemuda yang sejati akan mencintaimu jika memang itu alasannya”

“Bukan, Mamiq. Tetapi karena ada cinta yang begitu terasa suci di hati tyang. Tyang tidak ingin cinta itu ternodai oleh datangnya cinta lain dalam hidup tyang”.
“Cinta untuk siapa?”
“Untuk sang Khaliq”, jawabku singkat. Mamiq tersenyum mendengar jawabanku.

“Anakku, mencintai Rabbimu itu memang sudah kewajiban seluruh ummat. Ketahuilah, anakku, cinta pada Rabbimu akan semakin terasa apabila cinta itu sampai kepada-Nya”.

“Maksud Mamiq?”, aku tak mengerti.
“Menikah adalah sunnah Rasul. Dan syurga seorang istri terletak pada kebaktianmu pada suami, tentunya sebagai wujud dari cintamu pada-Nya. Dan cintamu pun akan tersambut dengan hidayah-Nya”, Mamiq menjelaskan padaku.

Aku terdiam, mencoba untuk meresapi semua perkatan Mamiq tadi.
***

Sebulan kemudian,

Kuntum kamboja berguguran di atas tanah makam yang masih merah basah. Ku harap sosok tubuh yang berteduh di bawah pajang batu nisan itu dapat beristirahat dengan damai.

Sebutir, dua butir, air mata jatuh ke pipiku, kian menganak sungai. Tetapi nun jauh di relung hatiku, aku sangat mengikhlaskan kepergiannya.

“Mamiq, maafkan tyang jika hingga kepergian Mamiq, tyang belum juga melangsungkan pernikahan seperti yang Mamiq amanatkan. Tyang juga minta maaf dengan setulus hati kepada Mamiq mengenai tekad tyang sudah bulat. Hingga akhir hayat pun tyang tidak akan melangsungkan pernikahan itu. Tyang tidak akan peduli apa pun yang dikatakan oleh orang-orang kampung. Entah tyang akan dicap sebagai ‘dedare toaq’ pun tyang tidak peduli. Seluruh sisa hidup tyang akan tyang pergunakan untuk mengabdikan cinta tyang pada-Nya. Tyang tidak mau menikah karena tyang tidak ingin kecintaan tyang kelak pada suami akan mengalahkan cinta tyang pada sang Khaliq. Karena cinta tyang hanya untuk-Nya. Cinta yang begitu tulus dan istimewa”.

***

Kini, sisa umurku yang semakin hari semakin berkurang benar-benar ku pergunakan untuk mengabdikan cintaku pada Sang Rabbi. Duduk terdiam di dalam kamar dengan menghadap kiblat untuk berserah diri pada-Nya dalam kekhusyukan dan keheningan.

“Ya Allah, Ya Tuhanku. Ku abdikan seluruh hidup dan cintaku hanya untuk-Mu. Ku ingin di hatiku hanyalah untuk mencintai-Mu. Aku ingin mencintai-Mu dengan istimewa. Walau ku sadari, mungkin keistimewaan cintaku ini kan bernilai sederhan di hadap-Mu. Sebab, hanya cinta-Mu padakulah yang sepatutnya disebut dengan keistimewaan sebuah cinta. Ku tahu di dunia ini tak akan ku temukan kata sejati, karena semuanya hanya kefanaan semata. Tapi kini aku justru menemukan kata sejati itu di hatiku, yaitu untuk mencintai-Mu. Kata sejati itu ternyata hanya ada pada kata cinta dan cinta yang sejati itu sebenarnyalah hanya datang dari cinta-Mu. Walau mungkin terkadang beribu satu kekhilafan sering hamba-Mu perbuat. Ya Allah, harapku semoga hujan cinta-Mu menyirami tandus kerinduan di hatiku, hingga kelak menemui-Mu”.

Demikian doa dan pintaku pada Rabbi, benar-benar dengan hati yang ikhlas ku abdikan cintaku hanya untuk-Nya. Karena hanya Dialah Sang Pemilik kesejatian cinta itu.
***

Walau sampai akhir hayat ku tak akan memberikan cinta dan hatiku ini pada seorang anak Adam, tetapi ku harap kelak Rabbi akan memberiku seorang pendamping di akhirat, suami dari seorang pemuda penghuni syurga. Sebagai wujud dari cinta-Nya untukku.
Dan rupanya kekuatan cintaku pada-Nyalah yang selalu mendorongku untuk menolak semua lamaran pemuda yang hendak melamarku. ‘Karena cinta’, memang itulah alasanku.
Satu hal lagi, jauh di dasar hatiku yang paling dalam, ku ingin menjadi perawan bau syurga, sosok Rabiatun Adawiyah kedua di dunia ini. Yang mengabdikan seluruh cinta-Nya hanya untuk Sang Khaliq, Allah SWT, pemilik kesejatian cinta.
***

Keterangan :
Tyang : aku, saya (bahasa halus suku Sasak di Lombok)
Mamiq : bapak (panggilan untuk kaum bangsawan)
Baiq : gelar kebangsawanan untuk kaum perempuan
Lalu : gelar kebangsawanan untuk kaum lelaki
Midang : tradisi melamar di suku Sasak, Lombok
Berugaq : bangunan tradisional suku Sasak yang berfungsi untuk menerima
tamu
Rong bale dalem : ruangan di rumah bagian dalam
Dedare toaq : perawan tua
Inaq : ibu

Cerpen "Inaqku Seorang Pembohong"

Siang yang terik menampakkan sinarnya dengan garang. Aku duduk berselonjor diberugaq dengan kakak semata wayangku, seraya menikmati angin sepoi yang dihembuskan oleh pohon nangka yang berdiri angkuh di samping berugaq, kami berdua pun menunggu kedatangan Inaq.
Berselang beberapa saat, bayangan Inaq pun mulai nampak dari kejauhan, yang disekelilingnya dipagari pohon-pohon raksasa hutan. Nampak Inaq memikul seikat kayu yang sudah diambilnya di dalam hitan, lantas terus menelusuri jalan setapak menuju berugaq tempat kami duduk sekarang. Melihat kedatangan Inaq, aku bersorak riang. Ku lihat wajah kakaku pun memancarkan kegirangan.
Sesampai di berugaq, Inaq langsung meletakkan kayu bakar bawaannya. Besok paginya barulah Inaq akan membawa kayu bakar tersebut ke pasar, kemudian dijual untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari. Inaq sudah berperan ganda bagi kami. Menjadi figur seorang Inaq yang penuh kasih sayang sekaligus menjadi figur seorang amaq yang penuh tanggung jawab dan selalu melindungi. Peran rangkap yang Inaq lakoni ini mulai beliau sandang setelah amaq kembali ke pangkuan Ilahi Rabbi.
“Inaq, tiyang lapar” seruku langsung pada Inaq begitu beliau meletakkan kayu bakar bawaannya.
Inaq langsung mengelus kepalaku lantas menciumi pipiku. Keringat yang mengucur di pelipisnya pun menempel di samping telingaku.
“Inaq akan memasakkan nasi untukmu, anakku” begitulah jawaban yang ku terima dari Inaq. Sebuah jawaban yang sungguh membuat hatiku berteriak girang, seiring dengan teriakan-teriakan kecil perutku yang sudah keroncongan.
Setelah berkata demikian, Inaq pun mengajak kami berdua masuk ke dalam gubuk. Sebuah gubuk berdinding bedeq dan beratap rumbia. Gubuk yang berada di tepian hutan di kaki Rinjani, sebuah gunung tertinggi di pulau Lombok.
Di dapur yang berada di bagian belakang rumah kami, Inaq menjejali tungku yang terbuat dari batu bata bersusun, dengan bilahan-bilahan kayu bakar. Setelah tungku menyala, Inaq pun menanak beras yang hanya dua genggam. Aku dan kakakku pun duduk menunggui di depan tungku.
Setelah nasi ditanaq Inaq matang, aku dan kakakku pun mulai makan. Seperti biasa, makan tanpa lauq apapun. Hanya dengan nasi yang disirami air putih kemudian ditaburi garam halus. Sesekali saja kami merasakan nikmatnya makan dengan lauq tempe, itupun jikalau kayu bakar yang Inaq jual laku banyak.
Aku dan kakakku mulai menyantap makan siang kami dengan lahapnya. Tidak peduli dengan makanan ala kadarnya itu. Sebab perut yang sudah terlampau keroncong dan lagi pula hidangan demikian sudah menjadi hidangan rutin yang kami santap setiap harinya. Tak ada gunanya pula aku minta terlalu muluk dengan lauq-lauq yang ku inginkan pada Inaq, sebab ku tahu Inaq selalu saja berbohong padaku.
Kala itu aku pernah merengek minta dibelikan lauq ikan laut. Tentunya dengan sikap kekanakanku yang penuh kemanjaan sebagai anak paling kecil pada Inaq. “Kalau ada uang, Inaq akan membelikannya untukmu” demikian jawaban Inaq yang cukup membesarkan hatiku. Aku girang bukan kepalang. Ku tunggu sampai Inaq memenuhi janjinya untukku. Namun telah sekian bulan waktu itu berlalu, Inaq tak jua membayar janjinya padaku. Kini aku tahu, sepertinya Inaq berbohong.
Kali ini saat menyantap makan siang bersama kakakku, Inaq tidak ikut serta. (akh…maaf, sepertinya tidak bisa disebut makan siang, lebih tepatnya makan harian. Karena memang, dalam sehari kami hanya makan satu kali saja, terkadnag pula saat kayu bakar yang Inaq jual tidak laku, kami tidak makan nasi sama sekali. Hanya cukup mengganjal perut dengan sepotong ubi rebus yang diambil dari dalam hutan).
“Inaq tidak ikut makan?”, tanya kakakku saat melihat Inaq tidak ikut nimbrung bersama kami yang makan pada satu piring
Inaq tersenyum lantas berkata “Makanlah nak, Inaq tidak lapar” demikianlah ucapan Inaq dibalik wajah letih yang coba beliau sembunyikan dari kami. Tatapan beliau sayu, namun tetap coba diperlihatkan dengan tatapan sebening mungkin. Wajah beliau nampak penat, namun tetap diperlihatkan sesegar mungkin padaku. Tubuh beliau nampak lelah, namun tetap diperlihatkan sebugar mungkin dihadapan kami.
Setelah makang siang, Inaq mengajak kami untuk shalar dzuhur. Kami berwudhu di sumur belakang rumah. Inaq yang menimbakan air untuk kami berdua, buah hati beliau yang memang masih terlalu kecil-kecil untuk menerima getirnya hidup ini. Kakakku berumur sembilan tahun sementara aku sendiri masih berumur tujuh tahun. Meskin belum tahu pasti bagaimana getirnya hidup yang kami hadapi, namun sudah merasakan bagaimana pahitnya jalan yang tengah kami lewati. Kepahitan-kepahitan itu sudah mulai kami rasakan disaat harus menahan lapar seharian. Kalaupun makan hanya sekali dalam sehari, makan dengan ala kadarnya saja. Perasaan ingin ikut serta saat melihat anak-anak desa lainnya berlarian menuju sekolah, sementara kami tak pernah mampu seperti mereka yang demikian.
Habis berwudhu aku, Inaq dan kakakku bergantian shalat dzuhur, sebab mukena yang kami miliki hanyalah sebuah. Itupun sudah sangat lusuh. Seusai shalat pun tak lupa Inaq selalu mengajak kami untuk memanjatkan doa pada Rabb semesta alam.
“Anak-anakku, setelah kita harus berdoa pada Allah SWT. Memanjatkan syukur atas nikmat yang dia berikan untuk kita” ucap Inaq seraya mengangkat kedua tangannya dengan posisi menengadah ke atas, seraya aku dan kakakku mengamini.

* * *
Suara binatang malam bersahutan. Gubukku terselubung temaram dengan cahaya redup lampu tempel. Mataku terbuka perlahan. Aku baru saja terbangun dari mimpi indahku. Pikirku ini sudah subuh buta, ternyata hari masih tenggelam dalam larut malamnya. Ku tengok sebelah tempat tidurku, tidak ada orang yang kucari. Mestinya Inaqlah yang berbaring tidur di tempat itu. Lantas kemana beliau pergi malam hari begini? Aku bangun dari pembariangan. Menyeok langkah ke ruang depan. Kudapati pula Inaqku sedang duduk beralas tikar lusuh sedang menganyam daun pandan menjadi tikar.
“Inaq tidak tidur?” tanyaku. Mimik wajah beliau terlihat kaget dengan kedatanganku.
“Mengapa kamu bangun dini hari begini, nak? Tidurlah, Inaq belum mengantuk” jawab beliau dibalik tatapan mata yang sembab dan sayu serta terlihat cukup mengantuk. “Tidurlah di samping Inaq, anakku, Inaq masih harus menyelesaikan anyaman tikar ini agar besok bisa dijual di pasar” lanjut Inaq. Tak urung, akupun mengikuti perintah Inaq, tidur di samping beliau. Terbang kembali bersama alam mimpiku.

* * *
Inaq terbaring lemah di atas pembaringan reot dan sudah termakan rayap. Berselimut lusuh. Aku dan kakakku duduk bersisian di samping Inaq. Kakak memijiti kaki Inaq perlahan, sementara aku memijiti lengan beliau. Ku rasakan suhu badan Inaq terasa panas. Menyaksikan tubuh paruh baya itu terbaring lemah tak berdaya, butiran bening perlahan mengalir di kelopak mataku.
“Jangan menangis nak, Inaq tidak merasa sakit” ucapan lemah itu keluar dari mulut perempuan yang selama ini telah kupanggil Inaq dengan penuh kasih. Meski usia paruh baya yang menggelayuti umur Inaq dengan kulit wajahnya yang tak lagi segar, namun dibalik itu pesona kasih yang beliau pancarkan selalu saja nampak kian bersinar layaknya intan bagi kami.

* * *
Kuntum kamboja gugur perlahan di atas gundukan tanah yang masih merah. Tanganku tengadah ke atas. Sementara butiran bening yang menganak sungai mengaliri pipiku. Di bawah gundukan tanah itu telah bersemayam tubuh seorang hawa yang telah merawat dan membesarkanku dengan segenap cintanya. Meski di balik itu pula Inaq sudah seringkali berbohong padaku.
“Makanlah, nak. Inaq tidak lapar” ucap beliau. Padahal ku tahu seharian itu belum ada makanan yang masuk ke perut beliau.
“Tidurlah, nak, Inaq belum mengantuk” ucap beliau demi menyelesaikan anyaman tikar agar bisa dijual untuk kemudian membelikan beras untuk kami. Padahal aku tahu mata beliau terlihat sembab dan mengantuk.
“Jangan menangis, nak. Inaq tidak merasa sakit” ucap beliau membesarkan hatiku saat beliau terbaring lemah. Padahal aku ingat betul. Setelah mengucapkan kata demikian terdengar halus syahadatain yang beliau baca. Lantas Inaq pun memejamkan matanya, melepaskan genggaman tangannya dipergelangan tanganku, serta mengembangkan sebuah senyuman penuh cinta sebelum akhirnya kemudian arwah beliau terbang bersama malaikat menuju ke pangkuan-Nya.
Terbang pula bersama kebohongan-kebohongan penuh kebajikan yang telah beliau suguhkan untukku dan kakakku demi membesarkan hati kami, buah hati yang telah beliau rawat dengan kasihnya yang penuh keabadian.
* * *

Ket :
Bedeq : Anyaman bambu
Inaq : Ibu
Tiyang : Aku
Berugak : Bangunan yang berada di samping rumah tradisional sasak

Cerpen "Inaqku Seorang Pembohong"

Siang yang terik menampakkan sinarnya dengan garang. Aku duduk berselonjor diberugaq dengan kakak semata wayangku, seraya menikmati angin sepoi yang dihembuskan oleh pohon nangka yang berdiri angkuh di samping berugaq, kami berdua pun menunggu kedatangan Inaq.
Berselang beberapa saat, bayangan Inaq pun mulai nampak dari kejauhan, yang disekelilingnya dipagari pohon-pohon raksasa hutan. Nampak Inaq memikul seikat kayu yang sudah diambilnya di dalam hitan, lantas terus menelusuri jalan setapak menuju berugaq tempat kami duduk sekarang. Melihat kedatangan Inaq, aku bersorak riang. Ku lihat wajah kakaku pun memancarkan kegirangan.
Sesampai di berugaq, Inaq langsung meletakkan kayu bakar bawaannya. Besok paginya barulah Inaq akan membawa kayu bakar tersebut ke pasar, kemudian dijual untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari. Inaq sudah berperan ganda bagi kami. Menjadi figur seorang Inaq yang penuh kasih sayang sekaligus menjadi figur seorang amaq yang penuh tanggung jawab dan selalu melindungi. Peran rangkap yang Inaq lakoni ini mulai beliau sandang setelah amaq kembali ke pangkuan Ilahi Rabbi.
“Inaq, tiyang lapar” seruku langsung pada Inaq begitu beliau meletakkan kayu bakar bawaannya.
Inaq langsung mengelus kepalaku lantas menciumi pipiku. Keringat yang mengucur di pelipisnya pun menempel di samping telingaku.
“Inaq akan memasakkan nasi untukmu, anakku” begitulah jawaban yang ku terima dari Inaq. Sebuah jawaban yang sungguh membuat hatiku berteriak girang, seiring dengan teriakan-teriakan kecil perutku yang sudah keroncongan.
Setelah berkata demikian, Inaq pun mengajak kami berdua masuk ke dalam gubuk. Sebuah gubuk berdinding bedeq dan beratap rumbia. Gubuk yang berada di tepian hutan di kaki Rinjani, sebuah gunung tertinggi di pulau Lombok.
Di dapur yang berada di bagian belakang rumah kami, Inaq menjejali tungku yang terbuat dari batu bata bersusun, dengan bilahan-bilahan kayu bakar. Setelah tungku menyala, Inaq pun menanak beras yang hanya dua genggam. Aku dan kakakku pun duduk menunggui di depan tungku.
Setelah nasi ditanaq Inaq matang, aku dan kakakku pun mulai makan. Seperti biasa, makan tanpa lauq apapun. Hanya dengan nasi yang disirami air putih kemudian ditaburi garam halus. Sesekali saja kami merasakan nikmatnya makan dengan lauq tempe, itupun jikalau kayu bakar yang Inaq jual laku banyak.
Aku dan kakakku mulai menyantap makan siang kami dengan lahapnya. Tidak peduli dengan makanan ala kadarnya itu. Sebab perut yang sudah terlampau keroncong dan lagi pula hidangan demikian sudah menjadi hidangan rutin yang kami santap setiap harinya. Tak ada gunanya pula aku minta terlalu muluk dengan lauq-lauq yang ku inginkan pada Inaq, sebab ku tahu Inaq selalu saja berbohong padaku.
Kala itu aku pernah merengek minta dibelikan lauq ikan laut. Tentunya dengan sikap kekanakanku yang penuh kemanjaan sebagai anak paling kecil pada Inaq. “Kalau ada uang, Inaq akan membelikannya untukmu” demikian jawaban Inaq yang cukup membesarkan hatiku. Aku girang bukan kepalang. Ku tunggu sampai Inaq memenuhi janjinya untukku. Namun telah sekian bulan waktu itu berlalu, Inaq tak jua membayar janjinya padaku. Kini aku tahu, sepertinya Inaq berbohong.
Kali ini saat menyantap makan siang bersama kakakku, Inaq tidak ikut serta. (akh…maaf, sepertinya tidak bisa disebut makan siang, lebih tepatnya makan harian. Karena memang, dalam sehari kami hanya makan satu kali saja, terkadnag pula saat kayu bakar yang Inaq jual tidak laku, kami tidak makan nasi sama sekali. Hanya cukup mengganjal perut dengan sepotong ubi rebus yang diambil dari dalam hutan).
“Inaq tidak ikut makan?”, tanya kakakku saat melihat Inaq tidak ikut nimbrung bersama kami yang makan pada satu piring
Inaq tersenyum lantas berkata “Makanlah nak, Inaq tidak lapar” demikianlah ucapan Inaq dibalik wajah letih yang coba beliau sembunyikan dari kami. Tatapan beliau sayu, namun tetap coba diperlihatkan dengan tatapan sebening mungkin. Wajah beliau nampak penat, namun tetap diperlihatkan sesegar mungkin padaku. Tubuh beliau nampak lelah, namun tetap diperlihatkan sebugar mungkin dihadapan kami.
Setelah makang siang, Inaq mengajak kami untuk shalar dzuhur. Kami berwudhu di sumur belakang rumah. Inaq yang menimbakan air untuk kami berdua, buah hati beliau yang memang masih terlalu kecil-kecil untuk menerima getirnya hidup ini. Kakakku berumur sembilan tahun sementara aku sendiri masih berumur tujuh tahun. Meskin belum tahu pasti bagaimana getirnya hidup yang kami hadapi, namun sudah merasakan bagaimana pahitnya jalan yang tengah kami lewati. Kepahitan-kepahitan itu sudah mulai kami rasakan disaat harus menahan lapar seharian. Kalaupun makan hanya sekali dalam sehari, makan dengan ala kadarnya saja. Perasaan ingin ikut serta saat melihat anak-anak desa lainnya berlarian menuju sekolah, sementara kami tak pernah mampu seperti mereka yang demikian.
Habis berwudhu aku, Inaq dan kakakku bergantian shalat dzuhur, sebab mukena yang kami miliki hanyalah sebuah. Itupun sudah sangat lusuh. Seusai shalat pun tak lupa Inaq selalu mengajak kami untuk memanjatkan doa pada Rabb semesta alam.
“Anak-anakku, setelah kita harus berdoa pada Allah SWT. Memanjatkan syukur atas nikmat yang dia berikan untuk kita” ucap Inaq seraya mengangkat kedua tangannya dengan posisi menengadah ke atas, seraya aku dan kakakku mengamini.

* * *
Suara binatang malam bersahutan. Gubukku terselubung temaram dengan cahaya redup lampu tempel. Mataku terbuka perlahan. Aku baru saja terbangun dari mimpi indahku. Pikirku ini sudah subuh buta, ternyata hari masih tenggelam dalam larut malamnya. Ku tengok sebelah tempat tidurku, tidak ada orang yang kucari. Mestinya Inaqlah yang berbaring tidur di tempat itu. Lantas kemana beliau pergi malam hari begini? Aku bangun dari pembariangan. Menyeok langkah ke ruang depan. Kudapati pula Inaqku sedang duduk beralas tikar lusuh sedang menganyam daun pandan menjadi tikar.
“Inaq tidak tidur?” tanyaku. Mimik wajah beliau terlihat kaget dengan kedatanganku.
“Mengapa kamu bangun dini hari begini, nak? Tidurlah, Inaq belum mengantuk” jawab beliau dibalik tatapan mata yang sembab dan sayu serta terlihat cukup mengantuk. “Tidurlah di samping Inaq, anakku, Inaq masih harus menyelesaikan anyaman tikar ini agar besok bisa dijual di pasar” lanjut Inaq. Tak urung, akupun mengikuti perintah Inaq, tidur di samping beliau. Terbang kembali bersama alam mimpiku.

* * *
Inaq terbaring lemah di atas pembaringan reot dan sudah termakan rayap. Berselimut lusuh. Aku dan kakakku duduk bersisian di samping Inaq. Kakak memijiti kaki Inaq perlahan, sementara aku memijiti lengan beliau. Ku rasakan suhu badan Inaq terasa panas. Menyaksikan tubuh paruh baya itu terbaring lemah tak berdaya, butiran bening perlahan mengalir di kelopak mataku.
“Jangan menangis nak, Inaq tidak merasa sakit” ucapan lemah itu keluar dari mulut perempuan yang selama ini telah kupanggil Inaq dengan penuh kasih. Meski usia paruh baya yang menggelayuti umur Inaq dengan kulit wajahnya yang tak lagi segar, namun dibalik itu pesona kasih yang beliau pancarkan selalu saja nampak kian bersinar layaknya intan bagi kami.

* * *
Kuntum kamboja gugur perlahan di atas gundukan tanah yang masih merah. Tanganku tengadah ke atas. Sementara butiran bening yang menganak sungai mengaliri pipiku. Di bawah gundukan tanah itu telah bersemayam tubuh seorang hawa yang telah merawat dan membesarkanku dengan segenap cintanya. Meski di balik itu pula Inaq sudah seringkali berbohong padaku.
“Makanlah, nak. Inaq tidak lapar” ucap beliau. Padahal ku tahu seharian itu belum ada makanan yang masuk ke perut beliau.
“Tidurlah, nak, Inaq belum mengantuk” ucap beliau demi menyelesaikan anyaman tikar agar bisa dijual untuk kemudian membelikan beras untuk kami. Padahal aku tahu mata beliau terlihat sembab dan mengantuk.
“Jangan menangis, nak. Inaq tidak merasa sakit” ucap beliau membesarkan hatiku saat beliau terbaring lemah. Padahal aku ingat betul. Setelah mengucapkan kata demikian terdengar halus syahadatain yang beliau baca. Lantas Inaq pun memejamkan matanya, melepaskan genggaman tangannya dipergelangan tanganku, serta mengembangkan sebuah senyuman penuh cinta sebelum akhirnya kemudian arwah beliau terbang bersama malaikat menuju ke pangkuan-Nya.
Terbang pula bersama kebohongan-kebohongan penuh kebajikan yang telah beliau suguhkan untukku dan kakakku demi membesarkan hati kami, buah hati yang telah beliau rawat dengan kasihnya yang penuh keabadian.
* * *

Ket :
Bedeq : Anyaman bambu
Inaq : Ibu
Tiyang : Aku
Berugak : Bangunan yang berada di samping rumah tradisional sasak

Cerpen "Dedare Sasak"

Semilir angin pantai manerpa wajahku. Angin sepoi pun membelai rambut seorang dedare yang kini tengah duduk disampingku dengan lembut. Dedare bak bidadari dihatiku. Rambut panjangnya yang lurus tergerai, bibir tipis dan mata sipit yang membuat aku mabuk kepayang. Dan satu hal lagi, pribadi dan hatinya yang bagai emas itu pulalah yang membuat aku bertambah tergila – gila padanya.
Semilir angin pantai menerpa wajahku kembali. Duduk bersanding berdua dengan seseorang yang telah mampu mengikat hatiku. Pantai Senggigi, pantai di Pulau Lombok yang terkenal dengan pasir putih dan panorama keindahan alamnya yang kini ku jadikan tempat duduk berdua dengan Baiq Mandalika, dedare sasak yang telah menyihir hatiku oleh parasnya.
Duduk berdua di bibir pantai dengan dedare sasak kekasih hatiku. Membiarkan kaki kami dijilati buih – buih ombak. Aku dan dia benar – benar menyatu dalam suasana sore di bibir pantai yang begitu indah. Aku dan dia satu hati, satu cinta. Walau sebenarnya aku dan dia berbeda. Dia adalah keturunan bangsawan masyarakat sasak. Sedangkan aku hanyalah seorang anak petani miskin yang hidupnya pas – pasan. Aku dan dia memang begitu jauh jika dipandang dari stratifikasi sosial. Namun memandang dari sebuah sudut yeng bernama cinta dan kasih sayang, hatiku dan dia bagitu dekat.
Jika ku ingat awal kejadian lima bulan lalu, awal kejadian dimana aku untuk pertama kalinya seolah bertemu dengan dewi yang turun dari kayangan.
Waktu itu ia tengah jalan – jalan sore menikmati hamparan sawah – sawah yang menghijau. Entah brandal – brandal dari mana yang tiba – tiba datang mengganggunnya. Bahkan berani sekali mulai mencoleki tubuhnya. Aku yang waktu itu sedang membantu Amaq bekerja di sawah tentu saja geram melihat kajadian tersebut. Apalagi aku memang paling tak suka melihat kaum hawa disakiti. Dengan modal bela diri yang ku miliki, akhirnya keempat brandal tadi berhasil ku buat lari tunggang langgang.
“Terima kasih”, itulah ucapan yang keluar dari mulut dedare yang baru saja ku bantu dari ganguan para brandal.
“Sama – sama. Lain kali kalau mau jalan – jalan ajaklah barang seorang atau dua orang teman agar lebih aman”, aku menanggapi ucapannya.
Ia mengangguk seraya menyunggingkan senyuman.
“Oya, perkenalkan nama saya Mandalika. Kamu sendiri siapa ?”, ia kemudian bertanya sambil mengulurkan tangan kearahku.
“Nama saya Mustafa. Senang berkenalan denganmu”, ucapku membalas uluran tangannya. “Oya, bagaimana kalau kamu mampir sebentar ke sawahku. Kemudian duduk – duduk di bebaleq sambil makan ubi rebus dan teh hangat. Maukan ?”, aku menawarinya.
Ia pun mengangguk tanda setuju. Kemudian mengekor di belakangku menuju bebaleq yang letaknya berada di samping telaga ikan dekat petak sawah.
Sesampai di bebaleq aku mempersilahkannya untuk menyantap ubi rebus dan teh hangat yang ku bawa tadi bersama Amaq dari rumah.
“Ayo Mandalika, di makan saja ubi rebusnya. Jangan malu – malu. Tapi maaf sebelumnya, hanyala inilah makanan ynag ada. Maklumlah makanan orang miskin”, ujarku padanya. Karena jika ku perhatikan dari penampilan dan cara berpakainnya, ku yakin ia orang kaya.
“Akh…kamu bisa saja. Ada ubi rebus pun syukur. Dari pada tidak ada sama sekali. Syukur pula kalau kita masih bisa makan ubi rebus. Sedangkan di luar sana masih banyak kan saudara – saudara kita yang bahkan menderita kelaparan?”, ujarnya memberi sedikit petuah untukku seraya memasukkan potongan ubi rebus ke mulutnya yang diselingi dengan senyuman yang tersungging begitu manis.
Berselang beberapa menit kemudian, Amaq pun datang, baru saja menyelesaikan pekerjaan di sawah.
Begitu Amaq datang, sebuah niat sudah terpatri di dalam hatiku. Aku berniat akan memperkenalkan Mandalika pada Amaq. Namun rupanya aku kecolongan. Amaq telah lebih dahulu mengenal Mandalika.
“Baiq ?”, Amaq tiba – tiba mengucapkan gelar itu pada Mandalika. Beliau seolah tak percaya kalau yang sekarang berada di hadapannya adalah seorang Baiq Mandalika. (Baiq adalah gelar kebangsawanan masyarakat sasak untuk kaum wanita).
“Tuaq ?” , Mandalika juga seolah tak percaya dengan kehadiran Amaq kini di depan matanya. Mandalika memanggil dengan sebutan Tuaq pada Amaqku. (Tuaq dalam bahasa sasak berarti ‘paman’)
“Baiq sedang apa di sini bersama Mustafa ?. Baiq, Mustafa ini anak Tuaq. Bagaimana mungkin sekarang kalian bisa saling mengenal?.”
“Jadi, Mustafa ini anak Tuaq ?, kenapa Tuaq tidak pernah cerita pada saya kalau ternyata Tuaq punya anak laki – laki yang seumuran dengan saya ?. Mengenai kenalnya saya dengan Mustafa, ini berawal dari bantuan Mustafa yang telah menolong saya waktu tadi diganggu oleh brandalan”, Mandalika menjelaskan pada Amaq.
Sementara Amaq dan Mandalika berbincang – bincang, aku hanya bisa diam. Aku tidak mengerti dengan keadaan ini. Mengapa Amaq dan Mandalika bisa begitu akrab?. Dan satu lagi, tadi Mandalika tidak menyebutkan gelar kebangsawanannya waktu memperkenalkan diri padaku. Ku perhatikan sedari tadi, dedare yang satu ini memang benar – benar memancarkan kebaikan dan kerendahan hati. Lebih – lebih ia juga tak menolak saat ku tawari makanan yang hanya sebatas ubi rebus.
“Baiq, sepertinya hari sudah petang. Sebaiknya sekarang kita pulang”.
“Mustafa, kita mengambil jalan memutar untuk pulang agar bisa mangantarkan baiq Mandalika dulu ke rumahnya”, ujar Amaq kemudian padaku.
“Baik, Amaq”.
Aku dan amaq pun mengambil jalan memutar agar bisa mengantarkan Mandalika dulu sampai ke rumahnya. Setelah Mandalika sampai di rumahnya barulah aku mengerti mengapa Amaq dan Mandalika begitu akrab. Mandalika rupanya adalah putri dari Pak Lurah, tempat Amaq bekerja sejak belasan tahun yang lalu, bahkan sebelum Mamiq Mandalika menjabat menjadi seorang lurah.
“Terimakasih ya Tuaq sudah mengantarkan saya pulang. Mustafa juga, terimakasih sekali lagi karena sudah membantu saya tadi”, ucap Baiq Mandalika sambil kemudian masuk ke dalam rumah.
“Amaq, mengapa amaq tidak pernah cerita pada saya kalau ternyata Pak Lurah mempunyai seorang anak dedare seperti Baiq Mandalika?”, tanyaku komplin pada Amaq.
“Bagaimana mungkin Amaq akan berecerita padamu sementara kamu sendiri tidak pernah bertanya. Toh juga hal itu tidak terlalu penting kan?”.
Jawaban Amaq cukup membuatku terdiam tanpa tahu harus bertanya apa lagi.
***

Keesokan paginya…
“Amaq, hari ini saya mau ikut bekerja bersama Amaq di rumahnya Baiq Mandalika eh…di rumah Pak Lurah”, ucapku memelas pada Amaq agar diizinkan.
“Mimpi apa kamu semalam?. Biasanya juga walaupun Amaq minta agar kamu ikut dengan Amaq bekerja di rumahnya Pak Lurah, paling juga kamu menjawab lebih enak tidur”.
“Yah…sekarang lain Amaq. Saya mau katemu sama Mandalika. Dari pada di rumah tidak ada pekerjaan. Kan lebih baik ikut Amaq bekerja di rumah Pak Lurah. Boleh ya, Amaq?”, aku merayu.
“Ya sudah, kamu boleh ikut dengan Amaq. Dengan satu syarat, kamu tidak boleh terlalau dekat dengan Baiq Mandalika.
“Maksud Amaq?”, aku tak mengerti.
“Kamu dan Baiq Mandalika hanyalah sebatas teman, tidak boleh lebih dari itu”.
“Tidak boleh lebih dari sekedar teman?”, aku bertambah bingung dengan penjelasan Amaq.
“Kamu pasti akan mengerti juga. Mustafa, Amaq pernah mengalami masa remaja usia tujuh belasan tahun sepertimu kini. Amaq harap tidak akan ada perasaan lebih di hatimu untuk Baiq Mandalika. Ingat Mustafa, kamu dan Baiq Mandalika berbeda jauh. Baiq Mandalika itu keturunan bangsawan, sedangkan kamu hanyalah anak Amaq yang hidupnya miskin dan pas – pasan. Jangan sampai ada sesuatu di hatimu untuk Baiq Mandalika, atau kelak kau yang akan merasa sakit oleh perasaan itu sendiri”.
“Ya Amaq, saya mengerti”, ucapku menanggapi perkataan Amaq.
Kejadiannya berlangsung selama satu bulan, aku wajib ikut dengan Amaq untuk bekerja di rumah Pak Lurah sebagai tukang kebun. Biasanya Baiq Mandalika pun terlihat menyirami bunga – bunga tanamannya. Dalam keadaan seperti inilah aku mencuri pandang. Biasanya selalu ku perhatikan kemolekan wajahnya. Saat tiba – tiba pandangan kami beradu pun ia biasanya tersipu malu dengan wajah yang merona memerah. Sebulan itulah aku mulai merasakan getaran lain dalam dadaku jika bertemu dengan Baiq Mandalika. Jangankan bertemu dengannya, membayangkan wajahnya pun perasaanku pasti langsung berubah jadi tak karuan. Jantungku rasanya berdetak keras sedangkan darahku mengalir dengan derasnya. Lebih – lebih Baiq Mandalika pun sering sekali hadir sebagai bunga dalam tidurku, hadir dalam mimpiku.
Tak bisa ku pungkiri, di usiaku yang masih remaja ini, usia tujuh belasan tahun aku merasakan suatu gatar asa. Suatu getar yang biasa di katakan orang, bernama ‘cinta’. Ya…getar asa itu adalah getar cinta. Aku telah terlanjur jatuh cinta pada Baiq Mandalika.
Satu minggu kemudian, tak tahan menahan dan memendam gejolak yang timbul dalam dada, aku pun mencoba menumpahkan segalanya pada orang yang telah mampu menciptakan perasaan itu dalam diriku.
Ketika ku coba untuk mengutarakan perasaanku pada Baiq Mandalika, ternyata semuanya tak sia – sia. Gayung cintaku tersambut. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Hingga akhirnya aku dan Baiq Mandalika pun menjalin hubungan asmara. Namun hubungan yang jelas – jelas dilakukan secara sembunyi – sembunyi. Aku tidak ingin Amaqku tahu tentang hubunganku dengan Baiq Mandalika. Sebab, beberapa waktu silam Amaq sudah memperingatkanku agar tak menaruh perasaan lebih pada Baiq Mandalika. Namun harus bagaimana lagi, jika hati sudah terpaut, perasaan pun tak bisa dipungkiri.
Begitu juga dengan Baiq Mandalika, aku melarangnya menceritakan hubungan ini pada Mamiqnya. Aku tahu, Mamiq Mandalika pasti tidak menyetujui hubungan kami, disebabkan oleh jurang derajat pemisah yang begitu dalam.
***
Sebulan kemudian menjalani hubungan secara rahasia, akhirnya Amaqku dan Mamiq Mandalika tahu juga dengan hubungan kami.
Jelas sajalah apa yang terjadi. Baik aku maupun Mandalika diwanti – wanti oleh orang tua masing – masing.
“Baiq Mandalika, dengarkan Mamiq. Mamiq tidak setuju kalau kamu menjalin hubungan dengan Mustafa. Dia itu hanyalah seorang anak tukang kebun di sini. Di luar sana masih begitu banyak pemuda yang lebih terhormat dari dia. Pilih saja sesuka hatimu. Mamiq pasti akan merestui hubungan kalian. Asal satu catatan, kamu tidak boleh berhubungan dengan Mustafa. Lagipula dia hanyalah keturunan dari masyarakat biasa tanpa gelar kebangsawanan satu pun melekat di depan namanya”, begitulah wanti - wanti yang biasa diterima oleh Baiq Mandalika. Sementara itu Baiq Mandalika pun hanya bisa menangis.
Demikianlah yang aku ketahui, sebab Baiq Mandalika seringkali bercerita padaku tentang wanti – wanti yang biasa dilontarkan oleh mamiqnya.
Kejadian yang dialami Baiq Mandalika pun tak berbeda jauh dengan yang aku alami. Amaq juga sering mewanti – wantiku agar tak lagi berhubungan dengan Baiq Mandalika.
“Amaq sudah tidak mau lagi mendengar bahwa kamu dan Baiq Mandalika masih mempunyai hubungan. Lebih baik cari gadis lain yang sederajat dengan kita. Baiq Mandalika itu terlalu tinggai untuk kau raih , anakku. Ia seoraang keturunan bangsawan, sementara kau sendiri hanyalah keturunan dari kalangan masyarakat biasa”, itulah wanti – wanti yang biasa ku terima dari Amaq.
Aku dan Baiq Mandalika sudah berpuluh – puluh kali diperingati oleh orang tua masing – masing agar tak lagi saling mencintai dan menjalin hubungan asmara. Namun rupanya cintaku dengan Baiq Mandalika begitu kuat hingga badai sebesar apapun datang melanda, cinta kami takkan peernah goyah. Peringatan dari orang tua masing – masing kami acuhkan. Kami tetap menjalni hubungan asmara ini dengan harmonis. Dengan tetap berharap semoga kelak hubungan kami pun direstui.
Lima bulan kemudian…
Menjalin hubungan dengan kekangan dari orang tua sungguh sautu beban yang berat. Namun aku dan Baiq Mandalika akan terus mencoba mempertahankan hubungan ini.
Dan hingga kini pun hubungan itu tetap kami pegang erat.
Akh… semilir angin pantai menerpa wajahku. Membuyarkan lamunan alam ingatan tentang flash back kejadian lima bulan lalu, awal aku bertamu Baiq Mandalika hingga kini ia menjadi kekasih hatiku. Duduk bersanding berdua denganku di bibir pantai Senggigi menikmati panorama keindahan alam ciptaan Tuhan.
“Mustafa, Baiq Mandalika”, sebuah suara memanggil namaku dan Baiq Mandalika. Suara itu suara yang begitu ku kenal. Suara Amaq.
Serentak, aku dan Baiq Mandalika pun menoleh, dan benar saja, Amaq sudah berdiri di belakang kami.
“Mustafa, ikut Amaq pulang. Ajak Baiq Mandalika ikut serta” , tanpa menunggu lama Amaq melontarkan kalimat tadi. Aku dan Baiq Mandalika bingung denagan sikap Amaq. Namun kami pun hanya bisa mengekor dari belakang, mengikuti perintah Amaq.
Sesampai di rumah, tanpa kami sangka sebelumnya ternyata Mamiq Mandalika juga sudah ada di dalam rumah. Aku kaget bukan kepalang. Di otakku telah timbul pikiran – pikiran miring tentang sesuatu yang akan terjadi. Pastinya kami akan diwanti habis – habisan dan akan dipisahkan untuk selamanya. Akh…aku tak bisa membayangkan jika harus kehilangan Baiq Mandalika.
Begitu pula perubahan raut wajah yang sempat ku perhatikan pada Baiq Mandalika. Wajahnya terlihat pusat pasi dan ia juga nampak sedikit gemetaran. Mungkin pikiran yang saat ini berkecamuk dalam pikiranku juga berkecamuk di alam pikirannya.
“Mustafa, Baiq Mandalika, duduklah”, Amaq mempersilahkan kami berdua duduk.
Amaq pun kemudian melanjutkan.
“Mustafa, Baiq Mandalika. Sebelumnya Amaq ingin minta maaf pada kalian jika akan menceritakan suatu hal pada kalian. Hal yang sudah seharusnya kalian ketahui”, Amaq mengucapkan kata – kata tadi dengan penuh kerahasiaan.
Amaq kemudian membuka kotak kayu kecil berukiran khas Lombok. Isi dalam kotak itu adalah sepasang kalung bertali hitam dan barbando berbentuk huruf ‘V’ terbalik. Sepertinya bando kalung itu terbuat dari magnet. Amaq mencoba menyatukan kedua kalung tersebut. Ternyata perpaduan bando kedua kalung yang tadi disatukan Amaq membentuk huruf ‘M’.
Baru kemudian Amaq mulai bercerita
“Tujuh belas tahun lalu, tepat saat bulan purnama, Amaq dikaruniai dua orang anak kembar. Kedua anak kembari tulah yang memiliki kalung ini. Kemudian ada seorang saudagar kaya yang belum dikaruniai seorang momongan pun walau sudah menikah selama sepuluh tahun. Ia begitu berhasrat untuk memilki seorang anak. Walau mungkin harus mengasuh anak angkat.
Saat mengetahui Amaq dikaruniai dua orang anak kembar, saudagar tadi datang pada Amaq untuk meminta salah seorang dari anak kembar yang Amaq milki. Setelah satu minggu dipikir – pikir akhirnya Amaq manyetujui juga keinginan saudagar tadi. Amaq pun akhirnya memberikan salah seorang dari anak kembar yang Amaq miliki.
Bukan tidak ada alasan yang mendasar mengapa Amaq rela salah satu anak Amaq dijadikan sebagai anak angkat oleh saudagar tadi. Keadaan ekonomi, itulah alasan paling mendasar. Amaq tidak sanggup jika harus mananggung biaya hidup kedua anak tadi hingga besar. Penghasilah Amaq waktu itu juga masih tak seberapa. Lagipula Amaq juga ingin salah satu dari Amaq anak bisa merasakan hidup bahagia menikmati kemewahan, itulah sebabnya Amaq rela anak Amaq dijadikan sebagai anak angkat oleh saudagar yang kaya, dengan harapan agar ia bisa hidup mewah dan serba berkecukupan.
Sebenarnya, saat mengangkat salah satu anak Amaq, saudagar tadi menawarkan sebuah rumah dan beberapa petak sawah sebagai tanda terima kasih, namun Amaq menolaknya dengan halus. Amaq justru minta untuk dipekerjakan di rumah saudagar tadi agar Amaq tetap bisa memantau dan melihat keadaan anak Amaq yang ada pada saudagar. Satu lagi permintaan Amaq pada saudagar tadi, Amaq hanya minta agar anak Amaq dirawat dan dijaga baik – baik serta mengakuinya sebagai anak kandungnya sendiri.”, Amaq sempat meneteskan air mata menceritakan kisah tadi.
Pikiranku galau, bukankah aku anak Amaq?, secara otomatis tentu anak kembar yang Amaq ceritakan tadi adalah aku. Lantas dimana saudara kembarku?. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam dadaku.
“Mustafa, Baiq Mandalika, kami berdua sebagai orang tua melarang hubungan asmara yang kalian jalin sebenarnya bukanlah semata - mata beralasan karena stratifikasi sosial di antara kalian. Melainkan suatu hal. Dan hal inilah yang sekarang harus kalian ketahui.
Mustafa, Baiq Mandalika, maaf jika Amaq pernah melarang keras hubungan kalian. Sebab, jika tidak dilarang, maka Amaq pulalah yang akan menanggung dosa dan murka Tuhan. Sebelumnya, mungkin rahasia ini tidak akan pernah Amaq buka dan ceritakan pada kalian seandainya saja kalian tidak bersikeras melanjutkan hubungan kalian.
Mustafa, Baiq Mandalika, anak kembar yang tadi Amaq ceritakan adalah kisah kalian berdua. Itulah sebabnya Amaq dan Mamiq menentang keras hubungan asmara yang kalian jalin. Alasannya bukan semata - mata karena perbedaan sosial. Hentikan sampai disini hubungan kalian sebagai sepasang kekasih tetapi lanjutkan sebagai sepasang adik kakak, karena kalian adalah saudara kembar, kalian adalah anak - anakku”, Amaq mengakhiri ucapannya.
Mendengar penjelasan Amaq tadi, jelas saja aku dan Baiq Mandalika terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang kami dengar. Aku belum siap memutar hatiku dari mencintai Baiq Mandalika sebagai kekasih kemudian sekarang akan menjadi saudara, adik kembaranku. Begitu pulalah yang mungkin dirasakan Baiq Mandalika. Sepintas ku perhatikan butiran bening mengalir dari kelopak matanya membentuk aliran sungai kecil dikedua pipinya.
“Kakak”, tiba – tiba Baiq Mandaika memelukku seraya melontarkan panggilan kakak padaku.
Ku sambut pelukannya, bukan pelukan kepada seorang kekasih, tetapi mencoba memutar haluan hatiku, memeluknya sebagai seorang saudara kembarku. Aku harus mencoba membunuh perasaanku padanya sebagai seorang kekasih.
“Adikku”, bisikku ditelinganya.
***

Keterangan :
Dedare : dalam bahasa sasak berarti ‘gadis’
Sasak : suku asli pulau Lombok
Amaq : dalam bahasa sasak berarti ‘bapak’ (panggilan Amaq khusus untuk masyarakat non bangsawan/ masyarakat biasa di kalangan masyarakat sasak )
Bebaleq : rumah kecil beratap rumbia atau ilalang, berada di pinggiran petak sawah. Berfungsi sebagai tempat peristirahatan para petani setelah lelah bekerja di sawah
Tuaq : dalam bahasa sasak berarti ‘paman’
Mamiq : dalam bahasa sasak berarti ‘bapak’ (panggilan Mamiq khusus untuk masyarakat bangsawan di kalangan masyarakat sasak)

Sejarah Lombok

Merekonstruksi sejarah Kerajaan Selaparang menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeiuruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusurl sebagal bahan pengkajlan leblh ianjut.
Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya menempatkan Kerajaan Selaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat setidak-tidaknya tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan Selaparang. Pertama, disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae’ yang diperkirakan berkodudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerjaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun Sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.
Kedua, disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam lautan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kernudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.
Ketiga, disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinyo ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.
Agak sulit membuat kompromi penafsiran untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi di atas. Minimnya sumber-sumber sejarah menj adi alasan yang tak terelakkan.
Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai pelaksanaan Surnpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kernudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.
Ekspedisi ini, lanjut Djelenga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok, dalam perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di Timur, Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh.
Di antara kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang sangat indah dan mempunyai sumber air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, Banten, gersik, dan Sulawesi.
Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang meng-Islam-kan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, peng-Islam-an ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.
“Susuhnii Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepadafaham pagan. Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam, dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.”
Proses peng-Islam-an oleh Sunan Prapen menuai basil yang menggembirkan,hingga beberapa tahun kemudia seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali bebrap tempat yang masih meme[ertahankan adatistiadat lama.
Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.
Menurut Fathurrahman Zakaria, dari wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai hutan Lemor yang memiliki sumber air yang melimpah.
Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manuskrip-manuskrip sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manuskrip Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.
Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 b menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.
Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin).
Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi monemui kegagalan.
Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel denagn cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini.
Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara telah menimbulkan kegusaran Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan dengan cara menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. Dan untuk membendung misi kristenisasi menuju ke barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat dengan membangun Kerajaan Manggarai.
Ekspansi Gowa ini menyebabkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan pada posisi dilematis, mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel. Maka tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing pada tahun 1624, yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang, yang dianggap halaman belakang Gelgel.
Akan tetapi terjadi perubahan sikap sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh Dalem Pemayun Anom. Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin kerjasama dengan Mataram di Jawa dalam rangka menghadapi Belanda. Sebaliknya Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk kembali ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran Selaparang dari Trah Pejanggik bernama Mas Pemayan dengan gelar Pemban Mas Aji Komala, diangkat sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili Gowa, berkedudukan di bagian bara pulau Sumbawa.
Akhirnya perang antara Gowa dengan Belanda tidak terelakkan. Gowa melakukan perlawanan keras terutama dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Sejarah mencatat Gow harus menerima perjanjian Bungaya pada tahun 1667. Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak disekitar pusat kerajaan Gelgel di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda. Konon Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke pusat pemerintahan Selaparang pada tahun 1668-1669, tetapi ekspedisi tersebut gagal.
Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622.
Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab.
Dalam kecamuk peperangandan upaya mengahadapi masalah kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan, yaitu patih kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.
Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.
Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.
Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh
lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

Sekilas Lombok

Pulau Lombok memiliki lokasi geografis di Asia Tenggara Koordinat 8.565° S 116.351° E Gugusan Pulau-pulau Kepulauan Kecil Sunda. Luas pulau 4,725 km². Tempat tertinggi adalah Rinjani (3,726 m). Pulau Lombok menjadi bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ibu kota provinsi, Mataram ada dipulau ini.

Secara demografis populasi penduduk berkisar 2,536,000 jiwa (data thn 2004) dengan kepadatan penduduk 537 jiwa/km². Penduduk pribumi bersuku Sasak. Tetapi di pulau Lombok terdapat beberapa suku pendatang dari berbagai daerah seperti suku Bali, Jawa, dan lainnya. Suku Sasak adalah penduduk asli yang menduduki pulau Lombok berjumlah sebanyak 2.6 juta orang (85% total penduduk Lombok). Mereka mempunyai hubungan dengan orang Bali dari segi budaya dan bahasa.

Sejarah Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok. Posisi ini selanjutnya menempatkan Kerajaan Seiaparang sebagai ikon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.

Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kemudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.

Ekspedisi ini, lanjut Djelenga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok, dalam perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di Timur, Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh.

Di antara kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang sangat indah dan mempunyai sumber air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, Banten, gersik, dan Sulawesi.

Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.
Proses pengislaman oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirakan, hingga beberapa tahun kemudia seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih mempertahankan adat istiadat lama.

Secara geografis, Pulau Lombok dan Pulau Bali memang terpisah. Batasnya jelas. Selat Lombok, yang membentang di sepanjang pesisir barat Pulau Lombok atau di pesisir timur Pulau Bali, menghubungkan kedua pulau kecil di wilayah Nusa Tenggara ini. Tetapi, dari sisi sejarah dan budaya, keduanya memiliki kedekatan khusus yang menjadikan Lombok dan Bali seperti dua saudara sekandung. Bahkan, sampai muncul istilah, di Lombok kita bisa menemukan Bali.

Kedekatan budaya Bali dan Lombok memang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kedua pulau bertetangga ini. Diawali dengan masuknya pengaruh paham Siwa-Buddha dari Pulau Jawa yang dibawa para migran dari kerajaan-kerajaan Jawa sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi, sampai infiltrasi Kerajaan Hindu Majapahit yang mengenalkan ajaran Hindu-Buddha ke penjuru timur wilayah Nusantara pada abad ke-7 M.

Sejumlah penanda masih terlihat jelas hingga saat ini. Di sejumlah tempat di Pulau Lombok dan Bali terdapat nama-nama desa yang mengadopsi nama tempat di Jawa. Sebut saja, Kediri, Pajang, ataupun Mataram, yang kini menjadi nama ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pendatang asal Bali yang bermigrasi ke Lombok pada zaman kerajaan itu memanggil penduduk Sasak dengan sebutan semeton, yang berarti saudara. Sebaliknya, terhadap warga Bali dan etnis non-Sasak lainnya, masyarakat Sasak memberikan panggilan hormat, batur, yang berarti sahabat. Batur Bali berarti sahabat dari Bali, Batur Jawa bermakna sahabat dari Jawa.

Salah satu kedekatan budaya antara Lombok dan Bali lainnya adalah bahasa. Sebelum ramai didatangi beragam etnis, Pulau Lombok sudah dihuni masyarakat Sasak yang disebut sebagai penduduk asli. Ragam bahasa antara Lombok dan Bali hampir serupa, sama-sama bersumber dari bahasa Kawi dengan aksara Jawa Kuno.

Huruf aksara Sasak dan Bali 100 persen sama, hanacaraka-nya berjumlah 18. Ini berbeda dengan aksara di Jawa yang lebih banyak dua aksara. Bedanya, penulisan aksara Sasak lebih tegas dibanding aksara Bali. Begitu juga dalam teknik pencatatan. Tradisi menulis di daun lontar dilakukan pujangga dan sastrawan di Bali dan Lombok. Teknik ini dilanjutkan dengan tradisi membaca naskah sastra, pepawosan dalam budaya Sasak dan mabebawos dalam budaya Bali.

Dalam ritual upacara masyarakat Hindu di Lombok dikenal tradisi melantunkan tembang Turun Taun saat berlangsungnya upacara sakral memohon turunnya hujan. Upacara ini digelar di pura setempat menjelang datangnya musim tanam. Meskipun dilantunkan masyarakat Hindu, ragam bahasa dan lagunya jelas menunjukkan pengaruh Sasak, ditambah beberapa sisipan kata-kata bernuansa Islam. Sebait lagu ini, misalnya,
Turun Taun Leq Gedong Sari
Mumbul Katon Suarge Mulie Langan Dee Sida Allah Nurunang Sari Sarin Merta Sarin Sedana yang intinya kira-kira bermakna "semoga Tuhan segera menurunkan hujan sebagai inti kebahagiaan". Kata sangkaq dan kembeq (kenapa), lasingan, timaq (walau), aro (ah), kelaq moto (sayur bening), dalam bahasa Sasak, kata Mandia, antara lain juga diadopsi sebagai percakapan sehari-hari masyarakat Bali di Lombok.

Akulturasi budaya antara penduduk lokal dan Bali serta Jawa juga terlihat dalam busana dan tradisi masyarakat. Misalnya, ikat kepala, yang dalam tata busana adat Sasak disebut sapuk (dipakai pria), mirip dengan destar dalam busana Bali.

Kebiasaan nebon, suami yang membiarkan rambutnya gondrong selama sang istri hamil, dikenal dalam tradisi Sasak dan Lombok. Rambut sang suami baru dipotong setelah istrinya melahirkan. Selama nebon, kegiatan rumah tangga ditangani suami. Kebiasaan ini dipertahankan dengan tujuan demi melahirkan generasi yang bibit, bebet, dan bobotnya berkualitas, juga kesehatan jasmani dan rohaninya lebih baik.

Dulu, kalau mau berkunjung ke rumah seorang gadis, meskipun keduanya sama-sama keluarga Bali, sang pemuda harus bisa membacakan isi lontar Pesasakan, yang bahasa pantunnya murni menggunakan bahasa Sasak.

Akulturasi budaya juga terlihat dalam agama wetu telu. Kelompok penganut agama sinkretisme islam, hindu dan animisme. Penganut Wetu Telu mayoritas berdiam di Kampung Bayan, tempat di mana agama itu dilahirkan. Golongan besar Wetu Telu juga boleh didapati di Mataram, Pujung, Sengkol, Rambitan, Sade, Tetebatu, Bumbung, Sembalun, Senaru, Loyok dan Pasugulan.

Jejak Masuknya Islam ke Lombok

Desa Bayan, Lombok Barat, 80 kilometer arah utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, dan keseharian masyarakatnya selama bulan suci Ramadhan tidaklah berbeda dengan banyak wilayah pedesaan di Indonesia. Yang membedakan adalah adanya bangunan kecil bersahaja dari bambu di desa itu yang menjadi penanda masuknya Islam ke pulau tersebut.
Itulah Masjid Bayan Beleq. Dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok, keberadaan bangunan yang telah menjadi situs purbakala yang dilindungi tersebut tak mencolok, seperti juga rumah-rumah di desa itu. Dari tepi jalan hanya tampak pagar tembok dengan dua rumah kecil di kedua sisi gerbang, kantor tempat pendaftaran pengunjung, dan rumah penjaga situs.
Baru setelah memasuki pagar beberapa belas meter di tengah rindangnya pepohonan tampak sebuah gubuk di puncak bukit kecil. Itulah Masjid Bayan Beleq. Berukuran 10 x 10 meter, dindingnya rendah dari anyaman bambu. Atapnya berbentuk tumpang disusun dari bilah-bilah bambu. Fondasi lantai yang tinggi dibuat dari susunan batu-batu kali.
Lantai masjid dari tanah liat ditutupi tikar buluh. Empat tiang utama penopang masjid dari kayu nangka berbentuk silinder. Di tiang atap masjid tergantung beduk kayu. Di belakang kanan dan depan kiri masjid terdapat dua gubuk kecil. ”Itu makam tokoh-tokoh agama di masa awal masjid ini,” ujar Kerta Murti, warga asli Bayan, penjaga situs masjid.
Masyarakat Bayan tak menggunakan Masjid kuno itu. Mereka memiliki masjid baru yang jauh lebih luas dengan bangunan lebih modern. Meski demikian, Masjid Bayan Beleq adalah kebanggaan. ”Ini masjid kuno dari abad ke-17. Ada di sini karena Islam masuk Lombok dari Bayan. Kayu soko guru masjid masih asli. Juga beduknya, Hanya kulit sapinya yang baru,” kata Kerta. Masjid Bayan Beleq tetap digunakan untuk shalat dan tarawih, terutama oleh ulama dan pemangku adat.
Menurut Usri Indah Handayani, Kepala Seksi Koleksi dan Bimbingan Edukasi Museum Negeri NTB, Islam masuk ke Lombok abad ke-17. Namun tidak hanya melalui Bayan.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di Gunung Pujut dan di Desa Rembitan. Keduanya di Lombok Tengah, di sisi Selatan pulau. Meski punya ciri yang sama, situs dan budaya di tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam masuk Lombok di beberapa tempat sekaligus. ”Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa, dan Bima. Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa,” kata Usri.
Sejak itu agama dan budaya Islam masuk ke Lombok secara bergelombang melalui perdagangan dan interaksi sosial.
Kerta sendiri meyakini Islam dibawa ke Bayan oleh Sunan Prapen, cucu Sunan Giri, salah satu Wali Songo, penyebar Islam di Pulau Jawa. Usri memperkuat keyakinan Kerta tersebut.
”Memang tidak ada peninggalan-peninggalan tertulis yang menyebutkan dari Jawa. Tetapi saya sangat yakin masuknya dari Jawa karena banyaknya penggunaan istilah dari Jawa di Bayan seperti penggunaan kata raden, gusti pangeran,” tutur Usri.
Dijelaskan, masih terpeliharanya situs Masjid Bayan Beleq karena kuatnya tradisi masyarakat. ”Selama ada masyarakat pendukung sebuah tradisi, sebuah situs tetap ada,” katanya.

Arsitektur Tradisional Lombok

1.Arsitektur tradisional suku Sasak
Rumah bukan sekedar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi bagi penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya. Itu terlihat pada rumah tradisional suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, seperti di Dusun Limbungan Desa Perigi Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur dan di Dusun Sade Desa Rambitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah.

Rumah mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat individu dan keluarganya berlindung secara jasmani dan memenuhi kebutuhan spiritualnya. Oleh karena itulah, jika kita memperhatikan bangunan rumah tradisional secara seksama, maka kita akan menemukan bahwa rumah tradisional dibangun berdasarkan nilai estetika masyarakatnya, seperti halnya rumah tradisional suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Rumah tradisional suku Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu (bedeq), hanya mempunyai satu pintu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya.
Ruangannya (rong) dibagi menjadi ‘bale luar’ (rumah bagian luar) dan ‘bale dalem’ (rumah bagian dalam). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dengan sistem geser atu ’sorong’ dan ’undaq-undaq’ (tiga anak tangga) yang digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan bale dalem. Lantainya rumah tradisional suku Sasak berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah, dan abu jerami.

Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah tradisional suku Sasak adalah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek perumahan tradisional suku Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi secara bersamaan. Artinya, rumah tradisional suku Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuq baluq), epen bale (penunggu rumah), dan sebaginya.

2.Ciri khas arsitektur tradisional suku Sasak
Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat Sasak didapatkan dari lingkungan sekitar, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah tradisional suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah dan tidak memiliki jendela.

Adapun ciri khas dari arsitektur tradisional suku Sasak, antara lain :
a.Atap rumah tradisional suku Sasak terbuat dari jerami
b.Dinding rumah tradisional suku Sasak terbuat dari ‘bedeq’ (anyaman bambu)

c.Lantai rumah dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Pengetahuan membuat lantai dengan cara tersebut diwarisi oleh nenek moyang mereka.

d.‘Undaq – undaq’ (tangga) berfungsi untuk menghubungkan antara ‘bale dalem’ (rumah bagian dalam) dan ‘bale luar’ (rumah bagian luar). Terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau agar mengeras seperti semen. Biasanya terdiri dari tiga susun anak tangga.

e.‘Berugaq / sekepat’ mempunyai bentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) tanpa dinding, penyangganya terbuat dari kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya. Berugaq atau sekepat biasanya terdapat di depan samping kiri atau kanan rumah tradisional suku Sasak. Berugaq/sekepat ini didirikan setelah dibuatkan pondasi terlebih dahulu kemudian didirikan tiangnya. Di antara keempat tiang tersebut, dibuat lantai dari papan kayu atau bilah bambu yang dianyam dengan tali pintal (Peppit) dengan ketinggian 40–50 cm di atas permukaan tanah. Fungsi dan kegunaan berugaq/sekepat adalah sebagai tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq/sekepat juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang ‘midang’ (melamar).

f.Sambi / lumbung merupakan tempat menyimpan hasil pertanian masyarakat. Ada beberapa macam bentuk sambi, antara lain sambi sejenis lumbung berbentuk rumah panggung. Bagian atas sambi ini dipergunakan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian, sedangkan bagian bawahnya dipergunakan sebagai tempat tidur atau tempat menerima tamu. Ada juga sambi yang atapnya diperlebar sehingga pada bagian bawahnya dapat digunakan sebagai tempat menumbuk padi (lilih) dan juga tempat duduk-duduk, berupa bale-bale yang alas duduknya dibuat dari bilah bambu dan papan kayu. Semua sambi selalu dilengkapi dengan tangga untuk naik dan di dalamnya juga memiliki tangga untuk turun ke dalam.(Suparman, Kepala Dusun Limbungan, 2008)

Tradisi Ngater

Kecuali sarat dengan kegiatan nuansa keagamaan, bulan Ramadhan
juga merupakan bulan penuh simpati dan persaudaraan sosial. Masjid dan mushala hampir dipastikan ramai oleh para jemaah yang menunaikan shalat fardhu, shalat tarawih, dan tadarusan.
Sementara itu, masyarakat juga memanfaatkan bulan Ramadhan ini untuk saling menolong dan lebih mempererat tali persaudaraan. Karena itu, menjelang magrib, biasanya masyarakat di Lombok saling mengirim makanan kepada tetangga sekitarnya. Makanan dalam nampan ini diantarkan kepada tetangga terdekat hingga tetangga yang cukup jauh.
Mengantar makanan sesama tetangga untuk santapan berbuka puasa ini, di Lombok acapkali disebut ngater, ngejot, dan menaek.
Ngater, mungkin berasal dari kata mengantar. Ngejot, biasanya diberikan pada keluarga dan tetangga, sedang menaek mungkin asal dari kata naik, khusus mengirimkan makanan untuk jemaah di masjid.
Menurut Agus Fathurrahman, pemerhati budaya Sasak Lombok, mengantar makanan ke masjid diduga terkait dengan tradisi di Masjid Nabawi. Di masa silam, masjid juga berfungsi sebagai tempat para musafir singgah untuk melaksanakan shalat, termasuk saat bulan Ramadhan. Masyarakat sekitar masjid yang mengetahui ada jemaah kemudian menyumbangkan makanan untuk berbuka puasa.

Makanan yang diantar dalam ngater, ngejot, dan menaek yang merupakan tradisi masyarakat Lombok ini jenisnya bermacam-macam, tetapi umumnya merupakan makanan khas Lombok, seperti kolak, buah, pecel, pelecing kangkung, nasi dan lauk-pauk. Tidak harus setiap hari mengirimkan makanan pada tetangga, bisa juga hanya dua hari sekali, tiga hari sekali, bahkan sepekan sekali.
Uniknya, tradisi ngater ini tidak hanya dilakukan masyarakat yang beragama Islam. Tradisi ini bahkan sudah mengurat akar, sehingga mayarakat non-Muslim pun ikut mengirim makanan kepada tetangganya, tanpa memandang agama, namun hanya dengan motivasi mempererat ikatan kekeluargaan.
Di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, misalnya, perkampungan etnis Sasak dan etnis Bali Lombok yang beragama Hindu hanya dipisahkan gang kecil. Namun, masyarakat berbeda etnis tersebut hidup rukun berdampingan dan saling menolong. Ketika
hari besar agama Hindu, misalnya warga etnis Sasak mengirimkan
rupa-rupa makanan. Sebaliknya, saat Ramadhan dan menjelang Lebaran, gantian etnis Bali yang beragama Hindu yang balas mengantar buah-buahan dan hasil pertanian. Saling memberi makanan ini dilakukan secara tulus dan tidak mengharap imbalan apa pun

Lombok dalam Perspektif Seni Topeng

Topeng secara harfiah berarti penutup muka atau kedok. Kata ini sekarang, baik tersurat maupun tersirat, sering dikutip media massa dari para pengamat yang mengomentari ulah para petualang politik yang penuh kepura-puraan, dan tidak segan-segan mengatasnamakan rakyat guna merahasiakan maksud sebenarnya.
Tetapi topeng Lombok, Nusa Tenggara Barat, bukan berkonotasi seperti di atas, melainkan berhubungan dengan ekspresi seni, punya pesan moral dan nilai estetika.
‘Perisai Wajah’ itu digunakan dalam seni teater tradisional seperti Cupak-Gerantang, Teater Amaq Abir, dan Teater Amaq Darmi. Dua teater disebut terakhir tema ceritanya sama, yakni kritik sosial atas perilaku para tuan tanah terhadap para penyakap (petani penggarap).
Grup gamelan Barong Tengkok juga menggunakan topeng sebagai penghias beberapa instrumennya. Profil wajahnya mirip singa, dan pada bagian punggung belakang terdapat alat musik reong (dua buah). Alat ini bisa dimainkan sambil duduk atau
dibawa berjalan oleh pemain dengan cara tengkok (digendong). Gamelan ini biasanya sebagai musik hiburan pada acara sunatan atau pengiring kelompok prosesi perkawinan adat Sasak yang disebut Nyongkol (keluarga pengantin laki bertandang ke keluarga pengantin perempuan).
Topeng Lombok umumnya ada persentuhan dan kontak sosial antara masyarakat lokal dan masyarakat etnis Bali di Lombok. Orang Bali banyak yang menetap di Lombok sejak
kekuasaan Raja Karangasem Singosari tahun 1692-1839 (Sejarah daerah NTB). Kontak sosial budaya diduga pula berkaitan dengan sejarah masuknya Islam di Lombok. Itu terindikasi dari nama pemain dalam teater tradisi itu seperti tokoh Ida (tuan tanah), Idayu (putri Ida), Jroayan, Tuan Guru (pemuka agama Islam di Lombok).
***
Beragam karakter topeng tradisi ini, meliputi karakter angkara (tamak, rakus) macam topeng Cupak, kemudian watak kuat, bijak, humanis, kharismatis (sakti, berakal
budi) seperti raut topeng Amaq Abir humanis maupun Amaq Darmi. Mungkin nama itu sesuai dengan nama Abir (asal kata akbar) ataupun darmi (darma=kebenaran). Sedang sosok humanis terlihat pada wajah Amaq Tempenges (pembantu Ida dalam teater topeng Amaq Abir). Tempenges agaknya asal katanya tepeng (jujur) dan inges (ganteng).
Fungsi barong tengkok mirip wajah Barong Keket (Bali) atau Barong Banyuwangi saat pertunjukan, itu agaknya untuk penolak bala sebagaimana fungsi motif hias kala pada gerbang candi di Jawa.
Kapan seni topeng atau teater topeng lahir di Lombok, belum diketahui pasti. Namun, buku ‘Seni Topeng di Lombok’ 1995/ 96 terbitan Museum Negeri NTB memperkirakan,
seni topeng di Lombok telah dikenal suku Sasak abad VIII-IX. Ini dikaitkan dengan kejayaan Buddha di Indonesia (Candi Borobudur), maupun bukti adanya pengaruh Buddha (situs Pendua, Kecamatan Gangga, Lombok Barat), yang warganya masih ada yang memeluk agama Buddha sampai kini.
Disebutkan pula, bila dikomparasikan dengan munculnya teater topeng di Jawa semasa Majapahit dan di Lombok sebagai salah satu daerah taklukannya, yang kemudian
memungkinkan interaksi budaya dan kesenian Lombok-Jawa, maka dugaan
sementara teater menggunakan topeng pada masa itu pula. Ini didukung
oleh teater Cupak-Gerantang (tokoh cupak dan raksasa memakai topeng),
yang mengetengahkan cerita panji, yang disadur dari Kitab Smarandhana
ciptaan Mpu Darmaja.
Disinggung pula, pada abad 14-15 dan paruh abad 17 dan 18, setelah Islam masuk Lombok, topeng dipakai sebagai seni pertunjukan rakyat. Ini terindikasi pada tokoh
penghulu dan Tuan Haji (Tuan Guru), figur ulama dan penasihat Amaq Abir
selaku tokoh sentral dalam dalam teater topeng Amaq Abir.
Indikasi lain pada lagu (kayaq) yang disenandungkan Amaq Tempenges (ajudan tokoh Ida-selaku tuan tanah), yang berbentuk pantun terdiri empat baris, yakni dua baris
pertama adalah sampiran, dua baris berikutnya merupakan isi. Berarti
ada pengaruh sastra Melayu, meski dilantunkan dengan laras maskumambang.
Untuk membuat topeng tradisi itu, para pembikinnya masih menaati ‘kaidah lama’ seperti
memilih hari baik biasanya hari pasaran pahing sekaligus arah mana kayu
bakal topeng akan ditebang. Bila pengambilan bahan diambil hari Kamis, maka penebangan menghadap utara (andang daya), hari Jumat, Sabtu dan Minggu masing-masing arah kiblat, barat (bat) dan selatan (lauq). Pembuatan sebuah topeng mesti diselesaikan, baru dilanjutkan mengerjakan topeng jenis lain.
Mungkin penentuan hari dan arah menebang, menitipkan pesan upaya konservasi, mengingat kayu mudah dikerjakan- seperti berserat halus, ringan, tahan terhadap gangguan rayap-sulit diperoleh.
Pesan budaya demikian, ujar Satriah, pemerhati budaya Sasak Lombok, warga Desa Bonjeruk, Lombok Tengah, sama halnya ‘larangan’ membuang air bekas mencuci beras di seputar pohon sirih.
Itu bukan mitis dan takhayul, namun mungkin ada sisa beras ikut terbuang bersama air
cucian. Sisa beras itu bisa jadi pakan semut yang lambat laun memangsa daun sirih. Pesan sama disimbolkan pada nama Prabu untuk kayu nangka, Batara buat kayu suren dan Tumenggung bagi kayu jati. Kearifan ini tampaknya bermaksud menjaga harmoni alam, yang bila kayu-kayu itu ditebang karena harganya mahal, menjadikan petaka bagi sumber daya dan masyarakat sekitar.
***
Di tengah berkembangnya Lombok sebagai alternatif kunjungan wisatawan, seni topeng seakan ‘menemukan’ pasarnya. Para seniman lalu membuat topeng kreasi yang laku di pasaran, terutama untuk hiasan interior. Karakter wajah topeng kontemporer itu agak lain dengan topeng klasik Amaq Abir dan lain-lain. Berbentuk lonjong, mimiknya terkesan seperti orang susah.
Mungkin mimik topeng itu cermin kemiskinan rakyat pedesaan, mengingat karya dan seniman topeng kebanyakan berdomisili di daerah selatan Pulau Lombok yang akrab dengan kepatihan hidup akibat kondisi alam yang kering dan gersang.
Menurut Djoko Prayitno, seniman patung, topeng kreasi baru mulanya dibuat perajin Desa Beleka, Lombok Tengah sekitar tahun 1986. Wajahnya polos, hanya dicat
sedemikian rupa, tanpa tambahan ornamen dan laku terjual.
Tuntutan pasar kemudian menjadikan topeng itu mengalami kreasi agar memenuhi selera konsumen. Para senimanlah yang memiliki peran penting dalam mempermak topeng
tadi. Kreativitas seniman terlihat pada pola hias motif tumpal, diimbuhi bahan kerang laut (cukli) dengan teknik tempel pada bagian dahi atau seputar wajah topeng.
Para pengusaha dengan naluri bisnisnya, melihat polesan itu sebagai penambah nilai estetis dan nilai jual topeng kreasi itu. Apalagi Lombok mulai dikunjungi
wisatawan dalam dan luar negeri, yang kecuali menikmati panorama alam Lombok, juga membeli beragam kerajian hiasan sebagai cendera mata di antaranya topeng kreasi itu.
Seniman pembuat topeng tradisi ikut juga membikin bentuk baru, meski pakem tradisionalnya masih melekat kuat seperti pada caranya memandang, yakni lurus ke depan. Ini agak berbeda dengan topeng kreasi yang kelopak matanya nyaris tertutup, tatapan matanya sayu.
Hanya sentuhan akhir topeng tradisi yang masuk dalam pasaran umum lemah dibanding mutu topeng kreasi. Hal ini bisa dipahami, kata Djoko, karena proses kreatif
seniman tradisi berangkat dari naluri, panggilan, dan pengabdian selaku seniman alam. Peralatannya pun sederhana seperti parang, pemaja (pisau kecil) dan sejenisnya, sehingga mempengaruhi kerapian dan sentuhan akhir karyanya. "Kuas yang dipakai dari bahan kulit kelapa," tutur Djoko.
Juga pewarnaannya cenderung kehilangan arah, membuat karakter tokoh tidak terjiwai oleh pilihan warna yang dipakai seperti warna merah, kuning, dan putih nyaris untuk
semua tokoh. Misalnya memakai dominan warna merah menyala agaknya kurang pas pada karakter tokoh topeng haji, yang lebih cocok bila dilaburi warna hijau karena peran dan sifatnya memberi mental spiritual.
Padahal, kerapian dan finishing merupakan aspek pendukung yang dominan terhadap nilai estetika dan ekonomis karya seni. Kepedulian para seniman yang memiliki ‘kemampuan lebih’ untuk membimbing mereka secara teknis. Dengan demikian topeng
tradisi terangkat pamornya.
Caranya seperti tokoh Semar, Petruk, dan Gareng (Jawa) misalnya, banyak diperdagangkan dalam kemasan mini. Produk figur Amaq Abir bersama satu-dua tiga tokoh lain dibikin setengah bagian dari ukuran aslinya (sekitar 20 cm) dan dijual per unit. Cara ini setidaknya bisa memberi gambaran sekilas tentang peran para figur dalam konteks cerita teater ‘Topeng Amaq Abir’ bagi konsumen.

Etnis Lombok

KANDANG KAOQ KECAMATAN TANJUNG, KABUPATEN LOMBOK BARAT
Legenda Asal-usul
Dukuh Kandang Kaoq Kecamatan Tanjung, itu dulunya ialah sebuah lokasi untuk kandang-kandang kerbau milik orang-orang desa Tanjung. Seperti telah disampaikan di atas dalam bahasa Sasak, Kandang Kaoq itu artinya kandang Kerbau. Lokasi kandang Kerbau ini kemudian berkembang menjadi daerah pemukiman yang sekarang menjadi dukuh ini, tetapi meskipun demikian namanya tetap Kandang Kaoq. Kerbau yang dulu dikandangkan di sini ini fungsinya ialah untuk menggarap sawah sebagai ganti tenaga manusia untuk mematangkan lahan agar siap tanam. Hal ini adalah karena tanah disini sangat luas untuk bisa dikerjakan dengan tangan, jadi kerbau dilepas untuk menginjak-injak sawah sebelum ditanami. Walaupun dukuh ini bernama Kandang Kaoq, dewasa ini sudah tidak ada lagi Kerbau dalam dukuh, yang ada hanya sapi, sementara kerbaunya dikandangkan di tepi sawah.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional

Orang Kandang Kaoq tidak mengenal hak milik tanah. Semua lahan dalam dukuh ini adalah hak milik desa. Kalau ada keluarga yang ingin membangun rumah baru, maka lokasinya ditentukan oleh keputusan rapat desa yang dipimpin oleh Tuak Lokaq atau sesepuh desa. Sesudah itu pemakaian rumah itu diserahkan dan dikuasakan kepada satu keluarga dan keturunannya. Yang termasuk dalam wilayah rumah ialah halaman, lumbung, kandang dan berugaq (sekenem), dan yang juga fungsinya untuk duduk-duduk.

Meskipun halaman itu termasuk wilayah rumah, batas fisiknya tidak jelas. Dengan demikian, halaman yang berada diantara dua wilayah rumah itu dianggap milik dan tanggung jawab kedua keluarga. Sehingga pemeliharaannya dilaksanakan secara gotong royong oleh pemilik-pemilik rumah yang membatasi halaman tersebut.

Menurut adat desa Tanjung lumbung itu ada beberapa macam jenisnya dan tiap jenis memiliki derajatnya sendiri. Jenis lumbung yang paling tinggi derajatnya ialah Alang, dan yang tidak didapati di Kandang Kaoq. Disini derajat lumbung tertinggi ialah Sambi yang sederajat lebih rendah dari Alang, sedang dua bentuk lumbung lain yang ada ialah Geleng dan Lumbung. Geleng dan Lumbung secara berurutan derajatnya lebih rendah dari Sambi, dan keduanya juga didapati di Kandang Kaoq. Letak Sambi di dukuh ini ialah di belakang rumah. Untuk membangun lumbung di dukuh ini tidak ada tradisi perhitungan mencari hari. Hal ini mungkin karena lumbung alang tidak terdapat di Kandang Kaoq.

Perhitungan mencari hari untuk membangun hanya dilakukan untuk rumah saja. Sesudah hari baik ditemukan, maka pada hari pertama dilakukan upacara yang disebut nukaq seimbik atau upacara perletakan batu pertama. Dan tidak ada selamatan apapun yang perlu dilakukan sebelum membangun rumah. Untuk menghitung hari baik, hari pasaran legi (manis) tidak diperkenankan untuk dipakai membangun.

Sesudah rumah selesai dibangun diadakan selamatan sebelum penghuni mulai mendiami rumah tersebut. Selamatan ini dipimpin oleh Tuak Lokaq dan pemuka agama, setelah dicarikan hari baik terlebih dahulu, dan selamatan ini dihadiri oleh seluruh warga dukuh Kandang Kaoq. Selamatan ini biasanya dilakukan pada bangunan Berugaq. Disini disajikan makanan yang seluruhnya secara lengkap diatur pada sebuah dulang atau talam. Untuk ini disediakan dulang khusus yang terbuat dari kayu, berbentuk bulat dan sedikit cekung. Dibagian bawah dulang ini ditopang oleh badan silindris melebar di sebelah bawah. Dulang dan kaki silindrisnya merupakan suatu kesatuan. Tiap dulang dapat melayani empat orang, dan pada tiap berugaq ditempatkan empat dulang, jadi tiap dulang melayani enambelas warga dukuh. Untuk bisa menampung seluruh warga dukuh diperlukan beberapa berugaq. Karena itu penggunaan berugaq itu menunjukkan semangat gotong royong, karena meskipun berugaq itu milik satu keluarga, siapa saja bisa memakainya.

Meskipun perhitungan mencari hari dan selamatan tidak dilakukan untuk lumbung dan berugaq, atau bangunan lain. Ini mungkin karena lumbung alang tidak didapati di Dukuh Kandang Kaoq, sedang fungsi berugaq disini juga sekedar untuk menampung kegiatan sosial dan tidak sampai ke kegiatan agama.

Catatan mengenai selamatan. Jumlah dulang yang disajikan dalam selamatan diatur secara adat. Kalau selamatan diadakan untuk “urusan hidup” seperti misalnya membangun rumah dan upacara perkawinan, maka jumlah dulang selalu genap, biasanya empat untuk tiap berugaq. Sebaliknya kalau untuk selamatan orang meninggal, jumlah dulang ganjil, biasanya lima atau tujuh. Aturan ganjil dan genap ini terus diikuti sampai kepada ukuran makanan yang disajikan, misalnya jumlah genggam beras yang ditanak, ayam yang dipotong, dan seterusnya.

Perhitungan mencari kain untuk bangunan dilaksanakan hanya untuk membangun rumah baru, dan tidak untuk memperbaiki atau membangun kembali rumah yang rusak. Kecuali kalau bagian yang akan diperbaiki itu adalah atap, maka perlu dicarikan hari baik dengan ketentuan umum seperti membangun rumah baru. Untuk pembangunan bahan utama yang dipergunakan ialah kayu dan batang kelapa, serta bambu. Di Kandang Kaoq tidak ada bagian rumah yang dihias, diberi ornament atau dicat karena ini merupakan pantangan. Pada waktu orang meninggalkan rumah lama untuk tinggal dirumah baru, sebagai persyaratan simbolis, orang ini membawa alat makan sirih dan tidak ada bagian rumah lama yang dibawa.
Aturan adat dalam masalah bangunan yang masih keras dipegang oleh warga Kandang Kaoq ialah mengenai arah rumah. Arah rumah yang ditentukan oleh arah wuwungan atau bahasa Sasaknya buk-buk, ialah Utara-Selatan sesuai dengan arah mata angin di daerah ini. Dengan demikian pintu berada di sisi Barat atau Timur, sehingga pada waktu hujan angin, air tidak masuk rumah. Tidak ada alasan lain yang dikemukakan dalam hal ini. Menurut aturan adat, rumah di Kandang Kaoq tak boleh berhadapan dengan lumbung. Lumbung harus ditempatkan dibelakang rumah, yaitu menghadap wajah Barat atau Timur rumah yang tak berpintu.

Disamping adat tersebut diatas, ada tata cara untuk mengatur perekonomian. Di Kandang Kaoq calon pengantin wanita tidak dipinang, baik dengan upacara maupun tidak. Calon mempelai wanita harus dicuri oleh bakal suaminya. Baru setelah itu diadakan pendekatan antara kedua keluarga dan upacara pernikahan diselesaikan secara adat.
Pandangan Penduduk Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisional
Di dukuh ini, meskipun jumlah bangunan tradisional masih nampak dominan tetapi bangunan yang non tradisional sudah banyak pula. Pola pemukiman disini jelas sekali terbagi dua. Bagian pertama terletak dekat dengan jalan masuk dukuh dan jelas kelihatan dari jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Pada wilayah pertama inilah sebagian terbesar bangunan masuk dukuh dan jelas kelihatan dari jalan yang bisa dilalui kendraan bermotor. Pada wilayah pertama inilah sebagian terbesar bangunan non tradisional berada, sehingga kesan pertama bagi orang luar ketika memasuki dukuh ini adalah bahwa pola fisik Kandang Kaoq sudah tidak tradisional. Pola tata letak bangunan disini sebetulnya mengikuti “grid-iron”, tetapi karena bentuk rumah yang ada keseragaman, atau tidak memiliki unsur pemersatu, suasananya seolah-olah tidak teratur.

Pada bagian kedua, dan ini merupakan wilayah yang lebih luas dari bagian pertama diatas, baik bentuk bangunan maupun pola tata letaknya masih tradisional. Pola grid iron jelas sekali, dan secara ketat mengikuti keseluruhan bentuk fisik desa ini. Dari hal ini barangkali yang mempengaruhi pola bagian pertama. Disinipun bangunan non tradisional sudah ada, kebanyakan pada rumahnya, tetapi pola tradisional masih merupakan ciri karakter utama.

Lebih separuh responden Kandang Kaoq tinggal di rumah tradisional. Sebagian dari mereka ini mengatakan bahwa bentuk arsitek tradisional Sasak harus dipertahankan, tetapi mereka ini rupanya menganggap bahwa ada unsur adat yang berkaitan dengan upacara membangun rumah yang sudah tidak sesuai lagi seperti arah menghadap rumah yang sering tidak memperhitungkan terhadap oientasi matahari, tak ada jendela dan ventilasi, dan gelap serta dianggap kurang sehat. Karena itu sebagian terbesar dari responden ini lebih menyukai membangun rumah baru kalau ada biaya. Tetapi ketika ditanyakan alasan yang spesifik mengenai alasan pilihannya ini, jawabannya kurang mendasar, seperti misalnya malu kepada tetangganya yang rumahnya modern.

Sisa dari responden tinggal di rumah non tradisional. Sebagian terbesar dari responden ini ternyata memang lebih menyukai tinggal di bangunan-bangunan demikian, tetapi pendapat mereka bertentangan dengan kenyataan yang menekankan perlunya bangunan asli Sasak dipertahankan. Mengenai alasan kecenderungan untuk memilih tinggal di bangunan non tradisional, responden-responden ini lebih konsisten dengan menyatakan kebutuhan akan ventilasi, sinar matahari, dan kebebasan individual dalam memilih bentuk rumahnya.

Sebagian terbesar dari responden secara keseluruhan menyatakan bahwa lumbung adalah bangunan terpenting dari keseluruhan bangunan tradisional, dan rumah menempati urutan kedua. Dan hal ini juga ternyata dari pilihan mereka untuk tetap mempertahankan bentuk lumbung tradisional, meskipun mereka lebih memilih tinggal dirumah non tradisional. Alasan merekapun lebih positif misalnya yaitu untuk memelihara tradisi suku Sasak. Hal yang menarik lagi ialah pendapat responden mengenai berugaq. Secara keseluruhan sebagian terbesar penduduk cenderung untuk mempertahankan adanya berugaq dalam bentuk tradisional yang ada. Mereka yang sudah tinggal di di rumah-rumah non tradisional yang juga memiliki ruang duduk tersendiri, menyatakan bahwa berugaq itu lebih sesuai untuk fungsi sosialisasi dan lebih nikmat untuk tempat berkumpul warga dukuh dibandingkan dengan ruang duduk dalam rumah.

Sebagian terbesar responden untuk keperluan mandinya menggunakan sumur meskipun tidak ada bentuk fasilitas mandi yang tradisional. Sebagian dari sarana MCK yang ada memang terbuka dan hanya ada sumurnya saja. Tetapi sebagian responden mengatakan bahwa aspek moral sudah mulai menjadi faktor penting dalam hal ini, sehingga sebagian dari fasilitas MCK diberi penutup pandangan dari anyaman bambu. Bahkan di beberapa rumah tradisional, ada fasilitasnya. Fasilitas MCK ini juga masih menunjukkan rasa bermasyarakat yang kuat di kalangan penduduk, karena fasilitas ini dipergunakan untuk kepentingan bersama, meskipun dibangun dan dimiliki oleh keluarga tertentu saja. Meskipun demikian, masih ada juga responden yang lebih senang mandi di kali.

Konsep kesehatan ternyata belum betul-betul diresapi. Hal ini ternyata dari jawaban responden yang pada umumnya mengatakan bahwa mereka tidak memberi cukup ventilasi bagi dapurnya, termasuk yang sudah tinggal di rumah non tradisional. Dapur masih dianggap sarana penunjang yang tak perlu pemikiran matang. Ini juga ternyata dari cara mereka menyimpan makanan masak yang hanya sebagian kecil responden memiliki tempat penyimpanan khusus. Demikian juga mengenai sinar matahari, sebagian dari responden yang rumahnya sudah dilengkapi dengan jendela kaca, ternyata penempatannya masih belum memanfaatkan unsur kesehatan yang penting ini. Bagi mereka jendela kaca masih merupakan fasilitas pelengkap untuk memberikan kesan “modern” bagi rumahnya.

Gagasan modernisasi memang masih baru kulitnya saja yang ditampilkan oleh responden. Dan ini ternyata dari pemilikan bahan non tradisional yang sering tidak sesuai dengan kondisi lingkungan, seperti misalnya memilih atap seng itu mudah terkena korosi dan menyerap banyak radiasi matahari di waktu siang.


DESA BAYAN DI BAGIAN UTARA KABUPATEN LOMBOK BARAT
Legenda Asal-usul
Menurut keterangan, penduduk asli desa Bayan itu adalah cikal bakal suku bangsa Sasak. Mereka mengatakan bahwa ada pengertian dalam cerita rakyat Sasak yang meriwayatkan bahwa wilayah Lombok dulu adalah sebuah Negara kerajaan yang suwung, artinya tidak ada penghuninya. Negara kerajaan tersebut kemudian diisi penduduk yang mengembangkannya menjadi Desa Bayan sekarang. Setelah penduduk Bayan ini berkembang, sebagian kemudian berpencar dan menghuni seluruh pulau Lombok. Beberapa sesepuh Bayan bahkan menyatakan bahwa Kerajaan Bayan ini dulu merupakan perisai pertahanan terhadap serangan yang sering dilancarkan dari arah timur Pulau Lombok. Akibat serangan-serangan ini sebagian bala tentara Bayan kemudian membina kerajaan baru lagi di Daerah Sumbawa. Secara geografis letak Sumbawa memang dekat dengan Desa Bayan, sekitar duapuluh km. Tetapi dari sudut transportasi, jarak ini tidak operasional bagi rata-rata kendaraan bermotor.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional
Di Bayan, rumah itu ada yang bertiang enam dan melambangkan rukun iman, atau bertiang empat yang menggambarkan Syariat Islam. Dulu mungkin ukuran rumah itu ditentukan dengan cara lain, tetapi sekarang dinyatakan dalam satuan meter. Dalam rumah tradisional di Bayan ada bagian yang disebut inan bak, yaitu suatu ruangan yang dipergunakan untuk ruang simpan baik untuk bahan-bahan makanan mentah kebutuhan setiap hari maupun untuk makanan masak. Bahan yang bisa dipakai untuk membangun rumah ialah kayu, pokok pohon kelapa, bambu dan ilalang. Sebagaimana di Kandang Kaoq, buk-buk rumah harus kearah Utara-Selatan, dan pintu di timur atau barat, karena alasan angin juga.

Di Bayan, yang boleh memprakarsai pembangunan rumah hanya laki-laki, dan dia inilah yang nantinya memiliki hak atas rumah. Dalam tahap perancangan tidak disiapkan gambar-gambar, melainkan semua rancangan disiapkan berdasar adat Sasak. Proses perancangannya sendiri dilakukan oleh salah satu tokoh masyarakat, yaitu kiai Pemuka Agama, atau Pamong Desa. Dari ketiga orang atau unsur desa yang ada di Bayan, dipilih yang tertua. Pelaksanaan pembangunannya sendiri dilakukan secara gotong royong terutama oleh anggota keluarga calon pemilik rumah. Meskipun gotong royong, dikenal juga sistem upah berupa uang yang diberikan kepada pekerja yang bukan anggota keluarga.

Untuk membangun sebuah rumah diperlukan penentuan hari baik bulan baik. Dan siapa saja sebetulnya diperkenankan melaksanakan perhitungan ini asal mampu menghitungkan. Tetapi biasanya perhitungan waktu baik ini asal mampu menghitungkan. Tetapi biasanya perhitungan waktu baik ini dilakukan oleh Kiai atau perangkat desa yang faham betul mengenai semua persyaratan dan cara-caranya. Sebetulnya, perhitungan hari baik bulan baik ini pada dasarnya berlaku untuk setiap langkah hidup yang akan dilakukan oleh orang Bayan dan tidak terbatas pada saat akan membangun rumah saja.

Sebagai dasar untuk perhitungan hari baik bulan baik dipergunakan kalender Islam. Dari keduabelas bulan Islam, hanya tiga yang dianggap baik, yaitu Rajab, Safar dan Dulhaji. Sedangkan hari yang dianggap baik juga ada tiga, ialah Minggu – yang bisa bernilai lima, lima belas atau duapuluh lima; Senin – bernilai enam; dan Kamis – bisa bernilai empat, empat belas, atau duapuluh empat. Aturan perhitungan ini menurut legendanya dulu ditentukan oleh Wali Songo yang memasukkan Islam di Bayan. Sekarang cara perhitungan ini sudah jadi bagian budaya Sasak.

Sesudah hari baik bulan baik ditemukan, maka pada hari itu pembangunan rumah dimulai. Untuk itu ada aturan untuk urutan membangun yang harus ditaati. Urutan pertama dan yang terpenting, ialah bagian yang harus terlebih dahulu didirikan ialah induk rumah yang disebut sekenem, atau bagian tengah rumah yang berdiri diatas enam tiang. Sesudah rumah selesai dibangun, dicari lagi hari baik untuk mengadakan selamatan sebelum rumah dihuni. Selamatan ini bertujuan untuk mengamankan unsur-unsur rumah seperti tiang dan kayu-kayu rumah lain dari penyakit. Hari baik ini dicari dari bulan Arab yang bernilai satu atau paling banyak sepuluh. Hari yang paling baik disebut “diwasa arah gunung” atau “dewasa lakunya angin”. Keseluruhan rentetan tata cara ini bertujuan untuk menghormati bumi, karena segala sesuatunya yang hidup ini dianggap oleh orang Sasak sebagai datang dari bumi.

Mengenai upacara membangun rumah, disamping yang telah disebut diatas, dan yang berkaitan dengan penghormatan kepada bumi, ada lagi satu upacara khusus. Upacara ini disebut : berbakti kepada bumi yang maksudnya ialah untuk menyingkirkan iblis, dan dilaksanakan untuk suatu jenis pembangunan rumah baru diatas tanah baru yang belum pernah sebelumnya dijamah tangan manusia. Upacara ini dilakukan dalam bahasa Sasak Raja, ialah hanya Kiai dan kepala desa.

Aturan lain untuk bangunan yang perlu dicatat ialah bahwa ukir-ukiran dan ornament lain termasuk warna hanya boleh dipergunakan untuk berugaq dan yang tidak mempunyai arti atau perlambang apapun. Berugaq yang terdapat di desa Bayan ini juga termasuk jenis sekenem, yaitu berdiri diatas enam tiang. Disinipun berugaq hanya berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dan tidak mempunyai fungsi keagamaan. Dalam survey, malah nampak fungsi-fungsi lain dari berugaq yaitu misalnya sebagai tempat tidur, dan tempat mengobrol kaum wanita. Disini nampak fungsi sosial berugaq, yaitu tempat berkumpul secara informal. Hal ini mungkin disebabkan karena fungsi semacam ini kurang bisa ditampung oleh pembagian ruangan rumah-rumah di Bayan yang juga berserambi. Tetapi untuk menampung fungsi sosial semacam ini serambi rumah memerlukan perletakan tempat untuk duduk, sementara dalam bangunan berugaq tempat duduk sudah menjadi unsur yang menyatu.

Lumbung yang terdapat di Bayan ini termasuk jenis Alang, yaitu lumbung yang berderajat paling tinggi. Penempatan alang di Bayan sudah tidak mengikuti pola tradisional lagi. Dulunya alang memang terdapat di daerah hunian, tetapi dalam rangka program perbaikan suasana desa, alang-alang ini dikumpulkan disuatu tempat terpisah dari daerah pemukiman. Program ini diprakarsai oleh pamong desa yang bertujuan membersihkan dan menertibkan suasana desa. Masalahnya nampaknya adalah sudah banyak rumah-rumah non tradisional yang didirikan penduduk di antara rumah-rumah tradisional, sementara lahan pemukiman adalah daerah berbukit. Karena percampuran jenis arsitektur yang demikian ini merusak pola tata letak desa sehingga memberi kesan tak teratur, apalagi pada daerah perbukitan.

Sebagai bagian dari upaya penertiban pola tata letak ialah peningkatan jalan setapak desa yang sebagian sudah diperluas dan diberi berbatas dengan susunan batu yang ditanam. Perbedaan ketinggian lahan disesuaikan pula dengan tangga yang diperkeras. Suasana keseluruhan memang menunjukkan kebersihan dan kerapian tetapi yang tidak merusak suasana keakraban desa, penduduk masih menunjukkan semangat gotong royong yang tinggi dalam memelihara ruang-ruang bersama seperti halaman dan jalan setapak.

Selain alang, tidak dijumpai adanya lumbung-lumbung bentuk lain. Ada beberapa alasan untuk ini. Alasan pertama ialah adanya inen bale dalam rumah yang berfungsi sebagai ruang simpan serba guna. Karena itu jenis lumbung lain tak diperlukan. Alasan lainnya ialah masih dipegangnya pembagian kasta secara ketat oleh penduduk Bayan, dan gelar itu tidak disandang sekedar sebagai tambahan nama tetapi dikaitkan dengan konsekwensi martabat dan derajat sosial seseorang. Sementara itu di desa ini orang dari kasta tinggi masih banyak didapati, dan ini menunjukkan kaitannya dengan sejarah Bayan sebagai bekas kedudukan kerajaan. Dengan demikian karena alang itu hanya boleh dibangun oleh anggota masyarakat bangsawan, makanya adanya lumbung ini jelas ada hubungannya dengan banyaknya penduduk yang bergelar Raden di Bayan.

Di tengah desa terdapat suatu komplek pemukiman lengkap yang terdiri dari rumah, berugaq, dapur dan lumbung. Disamping lengkap kompleks ini juga masih mengikuti pola tata letak tradisional. Memasuki kompleks ini diperlukan beberapa persyaratan yang masih dipertahankan, yaitu sebagai berikut. Yang boleh memasuki kompleks ini sehari-hari hanya angota keluarga. Tamu non keluarga hanya boleh masuk kalau memberitahu tuan rumah dulu dan tuan rumah ini masih berkasta tinggi, dan merupakan sesepuh serta ketua Adat Desa Bayan. Kalau tamu tadi mendapat perkenan, maka akan diberitahu mengenai tanggal dan hari tamu tadi boleh berkunjung. Tanggal dan hari ini dihitung dulu oleh tuan rumah, dicarikan hari baik. Pada hari yang telah ditentukan, maka tamu tadi hanya boleh masuk kalau menyandang pakaian adat lengkap seperti ditentukan tuan rumah. Dan tamu ini hanya boleh masuk kompleks pada bagian tertentu saja, tidak boleh lebih jauh.

Peraturan adat yang ketat ini menyebabkan tim survey tak dapat memasuki dan merekam keadaan kompleks. Sekeliling kompleks ini didirikan pagar anyaman bambu yang cukup tinggi sehingga tak tembus pandang dari luar. Keterangan mengenai bangunan dan pola tata letak dalm kompleks ini didapat dari orang yang pernah masuk dan orang yang pernah menyaksikannya dari atas ketika memanjat pohon. Kompleks ini dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing dipisah dengan sekat pagar anyaman bambu. Bagian pertama dan yang boleh dikunjungi tamu non keluarga terdiri dari berugaq-berugaq. Bagian ini dihubungkan dengan daerah hunian yang terdiri dari beberapa rumah dan hanya boleh dimasuki oleh tamu keluarga atau anggota keluarga sendiri. Daerah hunian ini dihubungkan dengan dua bagian kompleks lain yaitu wilayah wanita dan wilayah pelayanan. Wilayah wanita ini juga terdiri dari beberapa rumah dan hanya boleh dimasuki oleh anggota keluarga langsung atau tamu keluarga wanita. Daerah pelayanan terdiri dari bangunan-bangunan dapur dan lumbung, dan hanya boleh dimasuki oleh anggota keluarga langsung.

Selain bangunan-bangunan diatas, di Desa Bayan, terdapat sebuah mesjid kuno yang usianya sudah ratusan tahun. Mesjid ini pada waktu-waktu keagamaan tertentu masih dipergunakan. Yang menakjubkan ialah bahwa mesjid ini struktur utamanya ialah bambu dengan atap ilalang dan masih dalam keadaan baik dan halamannyapun nampak terawat rapi. Di halaman masjid ini terdapat beberapa makam. Menurut keterangan penduduk, makam ini adalah kuburan pendiri dan anggota kerajaan Bayan dulu. Keseluruhan kompleks masjid ini terletak di puncak bukit yang cukup tinggi, hanya sayangnya, lembah sekitarnya tidak terawat. Untuk mengamankan, sekeliling mesjid diberi berpagar bambu yang juga tidak terawat. Dengan perawatan yang cukup sebetulnya masjid ini bias dijadikan daya tarik dan land mark Desa Bayan.

Pandangan Penduduk Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisional
Desa ini sendiri sudah memiliki potensi ekonomi yang sudah berkembang dan sudah melembaga. Akibatnya, daerah pemukiman sepanjang jalan tersebut diatas sudah kehilangan karakter tradisionalnya, bahkan beberapa bentuk non tradisional sudah terserap dan memasyarakat. Sementara itu di tengah desa terdapat suatu komplek hunian kecil yang masih tradisional. Meskipun demikian, komplek inipun sudah mulai dimasuki unsur-unsur non tradisional. Di Bayan, batas fisik yang tegas itu tidak ada. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan adanya suatu lokasi pemukiman milik satu keluarga yang dikelilingi pagar dan tidak mengundang orang luar. Dilokasi ini segala sesuatunya masih dalam bentuk tradisional utuh baik bangunannya maupun cara hidupnya.

Ada gejala menarik pada perkembangan rumah tradisional di Bayan. Beberapa rumah tradisional nampak sedang direhabilitasi bentuknya, tetapi menggunakan bahan-bahan non tradisional. Misalnya dinding yang seharusnya anyaman bambu diganti dengan batu bata, sedang atap alang-alangnya diganti dengan genting. Gejala ini mungkin timbul akibat relokalisasi kompleks perumahan tradisional ini dari tempatnya semula dalam rangka pemugaran arsitektur tradisional di Bayan. Proyek relokalisasi ini bertujuan untuk juga membendung arus tumbuhnya bangunan-bangunan non tradisional yang dikhawatirkan akan merubah citra desa dari masyarakat yang berpola Sasak. Tetapi selera penghuni terhadap bahan bangunan non tradisional akhirnya memberi suasana baru pada kompleks ini, terutama karena daerah hunian dibebaskan dari lumbung-lumbung alang yang diberi lokasi tersendiri. Merembesnya pemakaian bahan baru ini juga muncul dalam unsur desa yang lain seperti jalan setapak dan fasilitas MCK.

Dari responden yang berpartisipasi dalam wawancara, hanya satu yang masih tinggal di rumah tradisional dalam bentuk asli, beberapa tinggal di rumah tradisional yang telah mengalami perubahan, sedang sebagian terbesar sisanya tinggal di rumah non tradisional. Sementara penghuni rumah tradisional inipun ternyata juga memiliki rumah-rumah lain berbentuk non tradisional. Tidak satupun responden yang apabila memiliki biaya akan membangun rumah tradisional dalam bentuk aslinya. Mereka yang memiliki bentuk rumah tradisional menginginkan adanya perubahan fungsi-fungsi lain. Sedangkan sebagian terbesar responden lebih menyukai bentuk rumah non tradisional.

Akan tetapi mengenai pelestarian rumah tradisional, sebagian terbesar responden menyatakan bahwa rumah tradisional Sasak dalam bentuk aslinya harus dipertahankan. Meskipun demikian, hanya sebagian kecil yang menyampaikan alasan positif seperti pelestarian tradisi atau yang menyampaikan bahwa rumah Sasak itu sebetulnya lebih nikmat untuk ditinggali. Kalau demikian terjadi tanda tanya, mengapa mereka ini memilih untuk tinggal di rumah non tradisional? Sangat disayangkan bahwa sebagian menolak untuk memberikan alasan mereka. Mungkin ini ada kaitannya dengan persyaratan adat yang dikaitkan dengan pembangunan rumah. Hanya sebagian kecil yang menyatakan bahwa adat membangun rumah tradisional perlu dipertahankan secara murni. Sebagian menginginkan ada perubahan-perubahan dalam syarat adat membangun dan seorang menyatakan bahwa tata cara adat mendirikan rumah harus ditinggalkan sama sekali. Rupanya masalah adat tradisional ini merupakan masalah peka bagi responden, karena sebagian dari mereka menolak untuk memberikan jawaban. Hal ini juga merupakan dari reaksi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan pada masalah bangunan-bangunan tradisional lain seperti lumbung dan berugaq.

Untuk sarana membersihkan badan, desa telah menyediakan fasilitas MCK yang menurut kondisi lokal sudah memadai. Fasilitas yang disediakan desa ini berupa kamar-kamar kecil dan ruangan mandi yang beratap dan berdinding batu. Fasilitas untuk laki-laki juga dipisahkan dari yang untuk wanita. Menurut pamong desa, penyediaan fasilitas ini adalah untuk menjamin kesehatan penduduk dan sesuai dengan moral agama. Akan tetapi sebagian besar penduduk masih mandi di kali yang meskipun berair jernih, tetapi tempatnya sangat terbuka, terletak dekat jalan-jalan aspal, serta pemisahan tempat laki-laki dan wanita belum cukup untuk membatasi pandangan. Rupanya masalah moral disini mempunyai nilai yang lain daripada standard “norma kota”. Keadaan tak berpakaian di tempat-tempat mandi nampaknya bisa diterima masyarakat yang tidak mengkaitkannya dengan nilai moral.

Suatu fasilitas umum dalam konteks ini yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan yang diterima masyarakat dengan baik ialah adanya sarana penjernihan air sederhana. Sarana ini mengalirkan air ke bak-bak mandi MCK, dan ke pancuran yang melayani kebutuhan minum penduduk. Akibat hal ini, dan peraturan adat yang tidak memperkenankan penduduk membuang hajat di saluran-saluran air telah membantu menjaga kesehatan masyarakat.

Konsep-konsep dasar kesehatan nampaknya telah membudaya pada masyarakat. Hal ini adalah dampak positif masuknya unsur arsitektur non tradisional ke desa Bayan. Hampir semua responden menyatakan bahwa rumah mereka cukup berjendela, berventilasi, dan terkena sinar matahari. Demikian juga mengenai makanan masak yang sebagian terbesar responden menyediakan lemari-lemari khusus untuk penyimpanannya. Hanya dalam soal dapur, yang pada sebagian terbesar responden letaknya bersatu dengan rumah, tidak memiliki sarana ventilasi yang cukup. Sebagian asap dapur masih dilewatkan jendela, sementara ada juga yang malahan masih melalui atap dan ruang-ruang lain.

Ide tentang arsitektur modern, setidaknya dasar-dasar pemikirannya sudah cukup dikuasai masyarakat. Dan hal ini nampaknya juga ada kaitannya dengan pendidikan. Sebagian besar responden memang mempunyai pendidikan yang cukup, yaitu diatas SD enam tahun, bahkan ada yang pernah mengalami pendidikan akademis. Tetapi kalau dihubungkan dengan pekerjaan mereka, jawaban responden agak membingungkan analisa, karena sebagian menyatakan tidak bekerja. Perlu diteliti apakah keadaan ini menandakan pengangguran, atau indikasi bahwa responden memiliki sumber penghasilan dari sector-sektor yang tidak bisa dikatagorikan masyarakat Bayan sebagai pekerjaan.

Dalam hal-hal yang menyangkut pola hidup tradisional, termasuk arsitekturnya, para pemuka masyarakat menunjukkan konservatif dan sangat kokoh pendapatnya untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Sasak. Tetapi mereka nampak cukup liberal dalam pandangan mengenai aspek-aspek non tradisional seperti misalnya penggunaan bahan bangunan. Kalau pemilik rumah sudah memilih untuk tidak mengikuti bentuk tradisional, maka kecuali mengenai perhitungan hari, segala sesuatunya diserahkan pada pertimbangan calon penghuni. Tetapi dalam hal-hal yang menyangkut hubungan pria-wanita, mereka ini dan juga responden ternyata masih memiliki nilai-nilai moral yang cukup tinggi dan tidak ada gejala bahwa hal ini akan dikendurkan.

BON JERUK DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH
Legenda Asal-usul
Seorang tokoh Bon Jeruk menyebut legenda lain mengenai asal-usul suku Sasak ini. Penduduk Sasak ini berasal dari Selatan yaitu Pulau Pujon ( ? ). Mereka datang mengendarai Sasak, yaitu sejenis perahu, dan karena itu penduduk asli Lombok disebut orang Sasak. Sementara itu, sejak dari perkembangan masyarakat Lombok ini penduduk sudah sering mengadakan hubungan dengan wilayah-wilayah Indonesia Timur sampai sungai Talaud, sedangkan ke Barat sampai kerajaan Sriwijaya, oleh karena itu logat Sasak sangat dipengaruhi budaya oleh logat Palembang. Tetapi pola sosialnya sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa, sehingga pengaruh kerajaan Majapahit selalu disebut sebagai unsur budaya Sasak yang terkuat. Karena itu orang Lombok juga mengenal cerita wayang kulit. Legenda ini diperkuat oleh keterangan penduduk Desa Sada Kecamatan Rembitan yang mengatakan bahwa asal-usul Lombok ialah campuran orang Majapahit dan Malaka.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional
Arah buk-buk atau wuwungan rumah di Bon Jeruk juga Utara Selatan, sedang pintu ditempatkan di bagian Barat dan Timur rumah. Tetapi mengenai arah bangunan dan letak pintu ini ada penjelasan lain yaitu sebagai berikut. Arah utara selatan itu ialah arah kematian, karena menurut kepercayaan orang Bon Jeruk orang meninggal itu masuk jalan Selatan. Karena itu, arah masuk orang hidup harus berlainan yaitu Timur atau Barat. Akan tetapi kalau letak rumah di gunung, maka arah buk-buknya tidak boleh menusuk gunung, sehingga arah rumah disini bias Utara-Selatan atau Barat-Timur.

Menurut keterangan seorang sesepuh desa, arsitektur rumah tradisional di Bon Jeruk ini banyak dipengaruhi oleh adat Jawa. Salah satu contoh yang dikemukakannya ialah mengenai lantai rumah. Rumah di Bon Jeruk bukan bangunan panggung melainkan berlantai tanah. Bahan untuk lantai rumah adalah tanah dicampur dengan kotoran Kerbau. Tanah yang diperlukan untuk meninggikan lantai digali sedemikian rupa sehingga tidak mencapai lapisan tanah liat, kalau tidak lantai akan hancur. Mungkin karena tanah liat tidak bersenyawa dengan kotoran kerbau sehingga menghasilkan aduk lantai dengan persyaratan yang dibutuhkan.

Ada cara khusus untuk membangun lantai rumah yang hanya dilakukan oleh orang kaya saja karena membutuhkan biaya yang cukup mahal. Cara melakukannya ialah sebagai berikut. Di sekitar wilayah calon lantai rumah dibuat dulu cetakan lantai dari anyaman bambu sekeliling sisi luar. Cetak ini kemudian diisi tanah dan ijuk secara berselang-seling seperti diatas, bahan aduk lantai ialah campuran tanah dan kotoran kerbau. Sesudah selesai, cetakan bambu ini tidak dibongkar, melainkan dibiarkan sampai lapuk sendiri, yang biasanya mengambil waktu sampai sekitar sepuluh tahun. Lantai yang dibangun dengan cara demikian ini akan kuat sekali dan tahan lama, bahkan lebih lama dari bagian-bagian rumah lain. Lantai ini juga tidak akan larut oleh air, serta tahan terkena sinar matahari.

Bahan utama rumah selain lantai ialah kayu, pokok-pokok kelapa, dan bambu. Bahan untuk atap ialah ilalang yang kalau pengerjaannya tepat dapat bertahan lebih dari delapanpuluh tahun. Tiap rumah hanya memiliki satu pintu dan tanpa jendela, sehingga keadaan dalam rumah cukup gelap. Pintu rumah digunakan tipe sorong, atau istilahnya di Bon Jeruk ialah “lawang gongsar”. Dalam merencanakan sebuah rumah, yang menjadi standard ialah ukuran istri. Ada beberapa hal pokok yang sangat diutamakan dalam hal ini, yaitu jarak antara usuk bambu rangka atap tidak boleh melebihi lebar kepala istri pemilik rumah, sedang ukuran dalam rumah harus memudahkan pemeliharaan oleh istri. Demikian juga tinggi “lagan” atau tempat simpan alat dapur harus bias dicapai oleh istri. Setelah semua ukuran pokok ini ditentukan, ukuran bagian-bagian rumah lain mengikuti saja.

Yang menjadi ketentuan pula ialah jumlah undak-undakan atau tangga rumah yang harus selalu tiga.
Ada bagian rumah yang perletakannya menarik, yaitu serambi. Serambi ini berada di depan pintu masuk rumah dan masih di bawah atap. Serambi ini dibagi dua bagian yang ditentukan oleh letak pintu rumah yang tidak tepat di tengah dinding, tetapi agak ke Selatan. Dengan demikian ada “betaran pendek” atau serambi pendek yang di Selatan, dan “betaran panjang” atau serambi panjang di sebelah utara. Di dalam fungsinya, kedua betaran ini berbeda. Betaran panjang ialah tempat duduk-duduk menerima tamu, sedang betaran pendek ialah tempat duduk-duduk penghuni rumah. Letak sisi panjang dan pendek ini diikuti terus sampai ke pembagian dalam rumah. Meskipun sekarang dapur di di rumah tradisional Bon Jeruk itu berada di luar rumah dan diberi bangunan tersendiri, aslinya dapur itu berada dalam rumah. Dalam bentuk aslinya ini, dapur itu diletakkan di dalam rumah pada sisi pendek. Sementara itu ruangan tidur ditempatkan pada sisi panjang. Dengan demikian rumah tradisional yang secara umum bentuk luarnya simetris ini, ternyata dibagi secara asimetris.

Perletakan sisi panjang dan sisi pendek ini mempunyai perlambang. Sisi pendek, jadi yang sebelah selatan, itu menggambarkan kehidupan ekonomi. Karena itu dapur sebagai aktivitas ekonomi ditempatkan pada sisi pendek. Sedang sisi panjang melambangkan pola kehidupan sosial, dan karena itu betaran panjang itu diperuntukkan menerima tamu. Lebih lanjut perlambang ini mengisyaratkan agar warga Bon Jeruk dalam pola belanjanya hendaknya sehemat mungkin – sisi pendek sedangkan dalam kehidupan bermasyarakatnya harus sebaliknya yaitu manusia yang mengutamakan fungsi sosial – sisi panjang. Pandang hidup ini mempunyai kaitan pada aspek kehidupan lain yaitu “midang”. Dalam bahasa Sasak, midang ini berarti kunjungan pergaulan antara bujang dan gadis. Pada waktu berkunjung, maka pihak tamu yaitu bujang harus hati-hati dalam memilih tempat duduk. Kalau bujang sampai salah duduk di serambi pendek, maka ia dianggap sebagai pemuda yang boros dalam hidupnya, sehingga sebagai calon suami ia tidak akan terpilih.

Bangunan tempat duduk-duduk yang berbentuk berugaq tidak dikenal untuk orang kebanyakan di Bon Jeruk. Bagi orang kebanyakan, tempat duduk-duduk ini berbentuk bale tajuk. Kehadiran bale tajuk disini menunjukkan pengaruh Bali, karena masyarakat Bali mengenal bangunan dengan bentuk, fungsi dan nama yang sama. Berbeda dengan berugaq yang berlantai panggung, bale tajuk ini berlantai tanah yang ditinggikan seperti halnya sebuah rumah. Tetapi bale tajuk yang tinggal satu-satunya di daerah survey ini juga telah berubah fungsi menjadi surau. Sementara itu, berugaq hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan. Di Bon Jeruk ini, berugaq yang paling sering ditemui ialah yang dinamakan sekenem atau bertiang enam. Disamping sekenem dikenal lagi dua macam berugaq yaitu sekepat – bertiang empat, dan sekewolu – bertiang delapan. Kedua macam berugaq ini sangat jarang ditemui. Masih ada lagi jenis berugaq yang dikenal dengan nama sekepuluh yang bertiang sepuluh, tetapi berugaq ini sangat khusus dan hanya untuk bangsawan tinggi. Baik berugaq maupun bale tajuk sudah tidak ditemui lagi di Bon Jeruk.

Masyarakat Sasak di Bon Jeruk mengenal empat jenis lumbung, yang menurut derajatnya diurutkan dari yang paling rendah ke yang paling tinggi adalah : lumbung, sambi, ayung dan alang. Lumbung adalah yang paling kecil, sekedar dibuat dari bedek atau anyaman bambu melingkar, dan karena itupun isinya sedikit. Keuntungan dari lumbung ini ialah dapat ditempatkan di mana saja, dan dapat dibangun tanpa upacara apapun. Lumbung, berbeda dengan ketiga jenis yang lain, didirikan langsung diatas tanah tanpa kaki. Sambi, jenis lumbung kedua, isinya lebih besar dan bangunannya mulai berpanggung, dan dibawahnya, diantara keempat kakinya biasanya dimanfaatkan untuk tempat simpan. Selanjutnya Ayung adalah adalah lumbung yang sangat besar, bahkan lebih besar dari alang, berbentuk panggung dan di bawahnya sering dipergunakan untuk kandang sapi. Yang terakhir ialah alang yang paling tinggi derajatnya di antara semua jenis lumbung, dan hanya dimiliki orang kaya atau bangsawan. Meskipun alang ini kalah besar dari ayung, tapi alang ini dilingkungi oleh adat secara ketat, baik dalam pembangunannya maupun penggunaannya. Ruangan di bawah alang bias digunakan untuk tempat duduk-duduk.

Karena posisinya yang sangat khusus dalam budaya Bon Jeruk, tidak asal tukang berani dan/atau diperkenankan turut dalam pembangunan alang. Alang hanya boleh dibangun oleh tukang yang ahli dalam arti ketrampilan tukang dan memiliki ilmu batin yang dalam. Bahan untuk membuat alang, terutama tiangnya, dipilih dan dipersiapkan secara khusus. Untuk membangun alang, tiang dan lantai dibuat dulu serta dimanterai oleh mendagi atau ahli bangunan tradisional Sasak agar kuat dan dan berfungsi dengan baik nanti kalau sudah jadi. Sesudah lantai dan tiang selesai didirikan, pekerjaan ditinggal dulu selama tiga tahun. Sementara itu mendagi akan memanterai dengan doa-doa yang memohon agar alang baru ini nanti diterima oleh bumi. Setelah tiga tahun, baru pembangunan ini diselesaikan. Sebelum pengisian alang yang pertama kali, diadakan upacara agar bumi mau mau menerima alang baru tersebut sehingga bangunan ini dalam menampung beban padi yang berat tidak roboh. Kalau semua persyaratan adat secara sempurna, dan alang tetap berfungsi seperti yang ditentukan oleh adat dan tidak hanya sekedar tempat menyimpan padi, dan tetap dipelihara sehingga tetap bersih, maka tak akan ada hama atau tikus yang mampu merusak padi di dalamnya, lebih dari itu menurut kepercayaan tikus bahkan akan mati kalau berani masuk alang.

Selanjutnya ada aturan adat yang ketat juga mengenai penggunaan alang sehari-hari. Alang diisi dengan ikatan-ikatan padi secara berlapis-lapis. Untuk memanfaatkan tempat agar alang dapat diisi padi sebanyak-banyaknya, karena ikatan padi itu menyerupai kerucut, maka posisi ikatan padi itu pada setiap lapisan selalu berlawanan arah bujurnya dari lapisan berikutnya. Sementara itu, dua lapisan terbawah tidak boleh dibongkar untuk keperluan sehari-hari, karena lapisan ini hanya dicadangkan untuk keperluan upacara kematian pemilik alang. Dan untuk aturan ini tidak ada perkecualian, meskipun konsekwensinya harus menghadapi kelaparan. Dua lapisan terbawah ini baru boleh dibongkar, selain untuk upacara kematian, hanya kalu padinya sudah masak dan kemudian diganti dengan dua lapis padi baru, dan demikian seterusnya.

Untuk keperluan sehari-hari, padi dari alang hanya boleh diturunkan paling sering satu minggu sekali, tidak boleh lebih. Hanya dalam keadaan sangat mendesak padi boleh diturunkan dari alang dua kali maksimum dalam seminggu, tidak ada perkecualian. Dan untuk keperluan mendesak inipun amat sangat jarang dilakukan orang, karena menurunkan padi dari alang sampai dua kali seminggu ini menunjukkan bahwa keluarga itu dan/atau sang ibu rumahtangga sangat boros hidupnya. Selanjutnya, meskipun yang menaikkan dan mengisi alang ini adalah kaum laki-laki, hanya wanita yang diperkenankan mengambil padi dari alang. Dan untuk menurunkan padi ini, wanita tersebut harus berpakaian adat. Dalam masyarakat Bon Jeruk, memang tugas laki-laki untuk mencari nafkah, tetapi kemudian hasil seluruhnya berada di bawah pengelolaan istrinya.

Masalah kehormatan ekonomi suatu rumah tangga, yang dianggap sebagai ciri karakter kemampuan seorang istri, harus ditunjukkan dalam bentuk penghematan pola belanja. Dan norma ini merupakan suatu nilai sosial yang amat penting Bon Jeruk dan karena itu sangat dijaga orang. Lebih dari itu, seorang istri yang dapat menunjukkan bukti operasi rumah tangga yang hemat akan menentukan pandangan mertuanya (orangtua suami). Pandangan mertua terhadap seorang ibu rumahtangga akan sangat tinggi apabila ibu rumahtangga ini ternyata dapat meningkatkan nilai ekonomi keluarga dibandingkan dengan nilai ekonomi ketika perkawinan. Keluarga yang demikian justru akan dapat bantuan dari pihak orangtua suami, agar kemampuan ekonomi keluarga baru ini makin cepat meningkat. Dan sebaliknya yang akan terjadi bila seorang istri ternyata boros. Ini adalah norma sosial yang tinggi, yang senantiasa mendorong orang untuk maju. Sementara itu, pengertian hemat dalam operasi ekonomi keluarga itu tidak hanya terbatas pada urusan hidup. Setiap keluarga Sasak di Bon Jeruk harus pula menabung untuk kepentingan akhirat dan hari kemudian, seperti contohnya diatas yaitu menyimpan dua lapis padi untuk keperluan kematian pemilik alang.

Perhitungan mencari hari baik untuk pembangunan juga dikenal di Bon Jeruk. Akan tetapi perhitungan harinya didasarkan pada kalender Sasak dan bukan bulan Arab. Kalender Sasak ini sangat mirip dengan perhitungan Masehi, sehingga dalam satu tahun selisihnya sekitar sepuluh atau sebelas hari dari perhitungan tahun Arab. Bulan pertama ditandai dengan munculnya gugus bintang Rowot (bintang tujuh) yang bertentangan dengan bintang Pari. Aturan dalam membangun rumah yang perlu diperhatikan ialah bahwa bangunan rumah tak boleh lebih tinggi dari masjid. Mengenai arah rumah yang Utara – Selatan, ternyata aturan ini hanya mengikat orang kebanyakan. Kaum bangsawan sering menentang aturan ini dengan membuat arah rumahnya Barat – Timur. Sehingga arah buk-buk rumah ini rupanya, disamping mempunyai perlambang, adalah juga masalah identitas saja, agar penghuni rumah yang orientasinya berbeda itu dikenal sebagai bangsawan.

Mengenai upacara adat untuk pembangunan, rupanya ada aspek-aspek yang dianggap bertentangan dengan agama Islam, dan masyarakat Bon Jeruk menempatkan agama Islam di atas ketentuan adat. Sehingga upacara-upacara tersebut sudah tidak dipersyaratkan lagi. Oleh para Kiai dan tokoh masyarakat memang ditekankan bahwa dalam memelihara adat Sasak itu diperhatikan sedemikian rupa sehingga tidak ada nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam yang dilanggar. Akibatnya dewasa ini sebagai upaya masyarakat untuk melestarikan nilai budaya mereka, banyak upacara adat yang dikaitkan dengan kegiatan agama. Tetapi sampai seberapa jauh keberhasilan perpaduan kedua unsur pandangan ini, merupakan masalah yang masih dipertanyakan. Sebagai contohnya adalah upacara yang diterangkan di bawah ini.

Upacara adat terbesar yang masih dipertahankan di Bon Jeruk ialah selamatan potong rambut pertama bagi bayi. Untuk keperluan upacara ini dipotong duapuluh ekor sapi yang dibebankan kepada rumpun desa. Satu rumpun desa biasanya terdiri dari empatpuluh delapan keluarga. Dalam upacara selamat ini terdapat dua bagian kegiatan yang berbeda, yaitu “jelo jait” dan jelo gawe”. Jelo jait ialah upacara ke makam untuk mengundang arwah leluhur agar ikut menghadiri pesta, mohon doa restu, dan menyaksikan jalannya upacara. Jelo gawe ialah selamatan sendiri.

Menurut adat asli Sasak, kecuali kandang kuda, tak ada binatang di dalam desa. Tetapi menurut seorang tokoh masyarakat, perkembangan suasana sekarang ini menumbuhkan sifat egois sehingga kandang semua binatang masuk dalam wilayah hunian desa. Tetapi mungkin ini juga karena pertimbangan keamanan. Mungkin dulu orang Sasak tidak mengenal pencuri, tetapi karena beberapa hal, kini pencurian sudah menjadi salah satu bagian kehidupan. Sementara itu perkembangan baru disamping menumbuhkan fungsi baru seperti kandang, ada juga jenis-jenis bangunan yang justru menghilang. Dulu masyarakat Bon Jeruk mengenal bangunan untuk menumbuk padi yang letaknya diluar desa, sekarang dengan dikenalnya mesin penumbuk, bangunan ini tak berfungsi lagi dan sudah tidak dibangun orang. Selain itu proses menampi padi masih dilakukan, tetapi harus dikerjakan diluar batas wilayah hunian. Demikian juga dengan mesin-mesin penumbuk padi, harus berlokasi diluar desa, hanya menumbuk padi dengan lesung boleh dilakukan dalam desa.

Ada pengaruh Bali yang mempengaruhi pola penggarapan sawah. Sebagian tanah Pulau Lombok itu terdiri dari tanah liat yang menyulitkan pengerjaan sawah dengan tangan dan cangkul. Karena itu cara Lombok asli dalam menyiapkan sawah ialah dengan melepas Kerbau untuk menginjak-injak lahan persawahan. Masuknya budaya Bali dalam mengerjakan sawah yang membutuhkan jenis sawah yang lebih baik, tetapi yang ditiru orang Lombok, mengakibatkan banyak persawahan Lombok menjadi rusak dan kering dan berkembang menjadi daerah minus.

Pandangan Penduduk Lokasi Survei Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisional
Bangunan tradisional di Bon Jeruk sudah menjadi suatu yang langka. Hanya satu kompleks bangunan milik satu keluarga yang masih agak lengkap unsurnya, dan berkumpul pada satu lokasi. Jenis bangunan yang ada pada kompleks ini terdiri dari rumah, lumbung alang dan ayung dan satu bale tajuk yang telah berubah menjadi surau.

Bangunan-bangunan lain yang terletak di kompleks ini yang masih menjadi milik anggota keluarga yang sama sudah tidak berbentuk tradisional lagi. Bangunan yang tradisionalnyapun nampaknya kurang terpelihara. Untuk mencegah punahnya bangunan tradisional dari desa Bon Jeruk, seorang tokoh kebudayaan di desa ini mengusahakan agar kompleks ini dipugar, dan keseluruhan kompleksnya dimaketkan.
Arsitektur tradisional itu sebetulnya tidak hanya terdiri dari aspek bangunan saja, tetapi meliputi pula sistim pola tata letak dan lingkungan. Aspek lingkungan inilah yang telah punah demi khasanah tradisional Bon Jeruk. Bangunan-bangunan non tradisional di Bon Jeruk mungkin masih mengikuti pola lingkungan secara adat, tetapi kalau bangunan sudah berubah kemungkinan pergeseran tata letaknyapun sudah terjadi. Lebih lanjut, karena arsitektur itu juga bagian dari kehidupan, perubahan pola hidup jelas besar pengaruhnya pada arsitektur. Perubahan yang besar disini adalah pada pertaniannya yang sudah digalakkan untuk meningkatkan produksi pangan.

Memang disini ada suatu dilema, disatu pihak ada usaha kearah penggalian dan pelestarian arsitektur tradisional, tetapi pada aspek kehidupan lain dituntut adanya peningkatan yang membutuhkan perubahan-perubahan mendasar dalam tata hidup masyarakat. Tetapi sebetulnya aspek-aspek kemasyarakatan itu tak perlu dipertentangkan. Kalau tujuan pelestarian arsitektur tradisional itu tujuannya untuk menghidupkan kembali bentuk-bentuk lama secara murni, jelas ini bertentangan dengan tata masyarakat yang selalu berubah.

Sebagian terbesar responden di Bon Jeruk kenyataannya tinggal dirumah non tradisional dan hanya satu yang masih tinggal di rumah tradisional asli Sasak. Kemudian ternyata tidak satupun responden yang kalau membangun rumah tradisional dalam bentuk aslinya. Hanya seorang dari responden yang berniat membangun rumah tradisional, itupun dengan variasi dari bentuk aslinya, terutama dalam penggunaan bahan. Alasan yang diberikan misalnya demi kesehatan dan kebersihan dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan. Walaupun demikian, kecenderungan ini tidak konsisten dengan keinginan mereka untuk tetap mempertahankan bentuk rumah tradisional tanpa perubahan dan demikian juga dengan keseluruhan adat membangunnya.

Sebagian terbesar responden menyadari bahwa fungsi rumah itu tidak hanya sekedar tempat berteduh. Responden-responden ini berpendapat bahwa rumah itu mempunyai nilai-nilai yang lebih luas. Argumentasi yang dikemukakan ialah bahwa suasana rumah harus sesuai dengan tata cara hidup integral dan harus bisa mendukung pola hidup penghuninya. Karena itulah mereka ini menyatakan bahwa pelestarian arsitektur Sasak itu harus memperhitungkan pula perubahan-perubahan tuntutan yang sekarang ini terjadi akibat penggalakan pembangunan nasional.

Mengenai lumbung, responden secara aklamasi berpendapat bahwa semua bentuk lumbung tradisional harus dipertahankan karena bentuk lumbung Sasak ini merupakan ciri karakter yang paling kuat dari arsitektur Pulau Lombok. Lebih lanjut, sebagian terbesar responden berpendapat bahwa dalam pelestarian bentuk lumbung, aspek tradisi pembangunannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari arsitekturnya. Akibatnya, semua tata cara membangun lumbung oleh sebagian terbesar responden dirasakan perlu untuk dipertahankan juga. Masalah yang dianggap mengganjal disini ialah mengenai penggunaannya sehari-hari, terutama lumbung alang. Jenis padi untuk disimpan dalam alang disyaratkan oleh adat harus jenis padi lokal. Ini bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah dan tuntutan kebutuhan pangan yang memang dirasakan sangat meningkat. Sebagian responden berpendapat bahwa dalam hal ini harus ada kelonggaran tradisi. Agar bentuk lumbung tetap bisa dilestarikan, fungsinya harus diperluas pula untuk bisa menampung jenis padi unggul.

Meskipun bentuk lumbung Sasak itu merupakan ciri arsitektur Sasak, sebagian responden tidak setuju kalau bentuk ini dipergunakan secara sembarangan untuk menampung fungsi-fungsi yang tak sesuai. Mereka berpendapat bahwa ada hubungan erat antara bentuk lumbung dengan fungsinya. Karena itu pelestarian bentuk menurut mereka harus diiringi dengan penyesuaian fungsinya. Akan tetapi karena ketatnya tradisi yang berkaitan dengan lumbung, dan tidak ada toleransi dari tokoh-tokoh adat dalam hal ini, sebagian besar responden kalau memiliki biaya, akan membangun lumbung dalam bentuk non tradisional. Rupanya masih ada unsur-unsur yang mengekang mereka untuk tidak melanggar norma-norma yang masih dianggap luhur oleh kebanyakan penduduk. Sikap demikian ini tercermin dari sikap mereka terhadap bangunan-bangunan tradisional secara keseluruhan, yang oleh seluruh responden dinilai paling penting adalah lumbung, sedang rumah sering hanya dinilai sebagai fasilitas penting nomor tiga sesudah bangunan-bangunan lain seperti bale tajuk dan masjid.

Pengertian akan aspek kesehatan juga nampaknya telah terserap oleh responden yang sebagian terbesar sudah memikirkan masalah ventilasi dan pencahayaan alam. Demikian juga mengenai penyimpanan makanan masak yang kebanyakan responden sudah menyediakan fasilitas penyimpanan khusus. Mengenai dapur, sebagian responden menyadari bahwa asap dan bau-bauan dari proses memasak itu mengganggu kesehatan, sementara bahan bangunan rumah yang tradisional seperti kayu dan bambu mudah terbakar. Untuk mengatasi masalah ini, sebagian responden memecahkannya dengan membangun dapur khusus terpisah dari bangunan rumah.



DESA SADE KECAMATAN REMBITAN
Legenda Asal-usul
Penduduk Desa Sada Kecamatan Rembitan yang mengatakan bahwa asal-usul Lombok ialah campuran orang Majapahit dan Malaka.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional

Di desa ini pada dasarnya dikenal empat bangunan dalam arsitektur tradisionalnya, yaitu rumah, lumbung, sekepat, dan kandang Kerbau. Tetapi dalam pembahasan ini hanya tiga jenis bangunan pertama yang akan didalami, karena kandang kerbau rupanya hanya merupakan tambahan dan belum lama dikenal dalam arsitektur tradisional desa ini.

Arah rumah di Desa Sada ditentukan oleh arah buk-buknya, itu disyaratkan untuk tidak menusuk gunung. Jadi, arah buk-buk harus sejajar dengan wajah gunung atau bukit. Sementara itu pintu rumah harus ditempatkan pada fasade bangunan yang menghadap ke lembah atau kaki gunung. Rumah juga mempunyai serambi panjang dan serambi pendek, tetapi tidak ada aturan duduk tamu seperti yang diterapkan di Bon Jeruk, meskipun secara geografis dan administratif Bon Jeruk dan Sada berada di wilayah yang sama. Meskipun demikian, pembagian serambi ini ada kegunaannya tersendiri. Pada waktu ada anggota keluarga yang meninggal, maka jenazah dibaringkan dulu di serambi panjang selama satu malam seperti disyaratkan oleh tradisi sada. Baru keesokan harinya jenazah dimakamkan. Mulai dari malam pertama orang ini meninggal, maka pendudik terutama keluarga mengadakan upacara tidak tidur sembilan hari sembilan malam di serambi dan seluruh serambi dipergunakan untuk ini. Tidak ada aturan dimana tamu harus duduk. Dengan masuknya Islam yang mengganti Islam Wetu Telu, biasanya jenazah langsung dikebumikan.

Sementara itu pembagian ruang dan unsur-unsur yang terdapat dalam rumah adalah sebagai berikut. Begitu masuk rumah, orang dihadapkan pada “lilih” atau ruangan tengah rumah. Kebiasaan orang kaya adalah memanfaatkan ruang tengah ini sebagai tempat untuk menumbuk padi, meskipun tidak ada adat yang mensyaratkan orang menumbuk padi dalam lilih. Dan kenyataan orang kebanyakan menumbuk padi di luar rumah. Menurut adat menumbuk padi ini pekerjaan wanita. Kalau mereka menumbuk dalam lilih, sedang udara dalam rumah itu panas itu panas karena kurangnya ventilasi, maka para wanita ini melakukannya dengan tidak berpakaian. Dengan demikian, kalau terdengar orang menumbuk padi dalam rumah, tamu yang hendak naik kerumah harus memberitahu tuan rumah akan kedatangannya dengan jalan berteriak dari luar, agar kedatangannya segera disambut oleh tuan rumah kalau kebetulan ada. Jika tuan rumah sedang keluar maka para penumbuk padi ini akan meneriakannya dari dalam, agar tamu tak jadi naik.

Kemudian di sebelah kanan pintu, jadi di arah sisi barat yang pendek terdapat “jangkih” atau dapur, sedangkan di sebelah kiri pintu ialah ruangan “bale dalam”. Fungsi dari bale dalam ialah untuk menyimpan harta kekayaan keluarga, termasuk beras untuk keperluan sehari-hari. Untuk menyimpan harta berharga, diatas bale dalam dibuatkan semacam lantai atas yang dinamakan “amben atas”. Disamping untuk menyimpan harta, bale dalam juga digunakan untuk keperluan melahirkan. Untuk ini bale dalam dilengkapi dengan lubang di lantai yang gunanya untuk membuang ari-ari dan sisa-sisa melahirkan yang lain.

Kebutuhan ruangan untuk tidur juga ditampung di dalam rumah. Akan tetapi kalau keluarga tadi mempunyai anak wanita, sesudah anak ini besar, maka hanya anak wanita ini yang boleh tidur dalam rumah. Sedangkan anak laki-laki bukan saja tidak boleh tidur dalam rumah, malahan harus tidur di luar. Setelah seorang anak laki-laki besar sampai dengan ia berumahtangga, anak tersebut harus tidur di berugaq. Tuan rumah dan istrinyapun, setelah anak wanitanya besar tidak tidur dalam rumah lagi melainkan di serambi. Rumah di desa Sada ini, serambinya berpagar anyaman bambu rapat setinggi bawah dada, sehingga untuk keperluan tidur serambi ini cukup memiliki “privacy”. Karena itu kalau ada tamu yang hendak berkunjung pada malam hari, dari kejauhan tamu ini sudah meneriakkan kedatangannya sambil memanggil nama tuan rumah dan memberi kesempatan tuan rumah mempersiapkan diri menyambut tamu.

Ada tiga upacara pokok yang harus dilaksanakan dalam membangun rumah di desa ini. Upacara yang pertama disebut “mamat”, yaitu upacara untuk pengerjaan kayu bangunan rumah yang pertama kali seperti misalnya melubangi. Yang harus disediakan disini ialah seikat “andang-andang” yaitu sejenis mata uang logam lama yang di tengahnya berlubang, “satak selae” atau 125 yang diikat dengan benang mentah. Kebutuhan lain ialah beras, pinang dan sirih. Sesudah persiapan selesai dimulailah mencari “dina wariga” atau hari baik dengan perhitungan bulan Sasak, yang bias dilakukan sendiri asal tahu caranya, atau menanyakan pada yang faham. Pada hari yang telah diperhitungkan ini dimulailah upacara mamat.

Cara mencari hari baik ini ialah dengan memperhitungkan kombinasi hari dengan peranannya, yang setiap kombinasi mempunyai nama sendiri. Keseluruhannya ada tigapuluh nama. Yang terbaik ialah “pagar wesi”, yang jatuh pada hari Minggu. Kalau untuk menunggu pagar wesi ini terlalu lama, bias ditentukan hari-hari baik lain juga harus diperhitungkan hari-hari naas yang harus dihindari misalnya tanggal 6, 16, atau 26 pada bulan VI, atau tanggal 7, 17 atau 27 pada bulan VII kalender Sasak.

Upacara kedua ialah untuk penanaman tiang yang pertama. Ini sangat kritis, karena disamping harus hari baik, juga harus pada jam baik. Untuk persiapannya diperlukan seikat alang-alang dan lubang untuk tiang ditanam. Untuk upacara ini harus diambil tiang sudut, dan yang terbaik ialah tiang Tenggara. Pada hari dan jam yang telah ditentukan tiang harus segera ditanam, dan selesainya alang-alang tersebut diatas harus segera diikatkan pada tiang sebagai pertanda selesainya upacara. Kalau sebelum alang-alang tersebut terikat pada tiang terjadi gempa bumi, maka apa yang telah dilakukan pada upacara ini dianggap batal, dan seluruh persiapan tanam tiang harus diulang kembali. Untuk mengiringi upacara ini diadakan selamatan untuk tukangnya saja, yaitu dipotongkan ayam yang darahnya harus membasahi ramuan tiang. Selamatan ini sebagai perlambang pengorbanan dan tak perlu ada korban manusia. Setelah ini selesai, tiang-tiang lain boleh ditanam kapan saja.

Yang ketiga ialah upacara “roch bale”. Upacara ini diadakan setelah rumah selesai dibangun tetapi sebelum ditempati. Maksud roh bale ini ialah mendoakan keselamatan calon penghuni rumah. Mengiringi upacara ini ialah selamatan dan untuk keperluan ini dipanggil Kiai.

Untuk pembangunan lumbung persyaratannya lebih berat lagi, karena di Sada lumbung yang ada ialah tipe alang. Tukangnya harus tukang ahli dan khusus, serta yang menghitung harinya juga harus yang betul-betul mahir. Upacara yang terberat ialah yang pertama yaitu untuk mendudukkan tiang. Disini tiang alam itu tidak ditanam tetapi didudukkan diatas lantai batu. Seperti halnya rumah, tiang pertama harus tiang pada sudut Tenggara yang disebut tiang “Nyaka”. Tiang yang akan didudukkan ini diletakkan diatas batu yang diatasnya telah diberi ijuk dan sebuah andang-andang. Setelah tiang Nyaka didudukkan, maka pekerjaan dilanjutkan dengan mendudukkan tiang-tiang yang lain dengan urutan berlawanan arah jarum jam. Jadi, urutannya ialah tiang Nyaka, Guru, Bendita, dan terakhir tiang sudut Barat Daya, ialah kira-kira. Setelah tiang selesai, maka pekerjaan membangun alang boleh terus dilanjutkan sampai selesai.

Setelah alang ini terisi, maka satu lapis paling bawah padinya tidak boleh diambil kecuali sangat terpaksa. Disini pengertian terpaksa agak longgar dibandingkan dengan di Bon Jeruk. Jadi kalau kebutuhan mendesak sedang ridak ada lagi padi untuk dimasak, pada lapisan terbawah akan dibongkar. Demikian juga peraturan mengambil padi di Sada sangat longgar. Yang menurunkan padi boleh laki-laki atau perempuan, asalkan setiap yang mengambil padi ini mengenakan ikat kepala adat. Tradisinya, padi hanya boleh diturunkan sehari sekali, tetapi kalau diperlukan boleh menurunkan lagi, asalkan pada pengambilan berikutnya tangga yang dipergunakan harus dibalik diatas jadi bawah.

Sebagai bagian dari persyaratan adat, ketika pertama kali alang diisi, ditengah lumbung ini diletakkan sebuah kendi berisi air, dan selamanya kendi ini tak boleh diganggu gugat. Alang ini hanya boleh diisi oleh jenis padi lokal yang dituai dengan gagangnya. Padi lain yang disimpan dalam karung disimpan di rumah atau tempat lain. Untuk keperluan adat mengisi alang, orang-orang kaya Desa Sada menanam baik padi unggul maupun padi lokal. Dengan adanya Peraturan Pemerintah untuk menanam padi jenis unggul, maka penanaman padi lokal dilakukan secara diam-diam, sementara itu banyak alang yang sudah tak berfungsi lagi.

Bangunan sekepat yang disebut diatas adalah berugaq, karena di Sada pada umumnya berugaq itu berkaki empat. Ada juga sekenem, tetapi jarang dan dianggap rendah derajatnya. Sekepat ini berfungsi sosial yaitu tempat duduk-duduk, tempat selamatan, dan tempat untuk tidur anak laki-laki. Sekepat ini bias mempunyai fungsi lain dan nama lain. Fungsi ini ialah untuk membaca lontar, dan untuk ini sekepat berganti nama menjadi “paosan”. Pada waktu menjadi paosan, bangunan sekepat ini keseluruhannya dinaikkan dengan mengganjal tiang-tiang penyangganya. Dengan demikian untuk duduk diperlukan tangga, yang jumlah anak tangganya sama dengan jumlah kerbau yang akan dipotong untuk sajian selamatan selama paosan dilaksanakan. Setelah selesai paosan, maka sekepat ini diturunkan kembali dan berfungsi sebagai berugaq. Selama paosan, semua fungsi berugaq tidak diperkenankan dilakukan diatasnya.
Untuk membangun paosan ini hanya orang kaya yang mampu karena untuk mengiringi pembangunannya harus diadakan selamatan dengan memotong kerbau. Sementara itu, tidak sembarang waktu paosan boleh dibangun, hanya pada waktu tertentu yaitu bila akan mengadakan pesta. Sedangkan upacara untuk membangun sekepat sama seperti ketika membangun rumah. Karena hanya orang kaya yang mampu membangun sekepat, maka keluarga yang kurang mampu dan tak memilikinya, dapat meminjam sekepat ini untuk mengadakan pembacaan lontar, karena memang hanya sekepat yang diperkenankan dijadikan paosan.

Dalam hal perkawinan, ada yang unik di desa ini. Cara pergaulan kunjungan midang yang dikenal di daerah-daerah yang disebut diatas, tidak dikenal disini. Cara meminang yang diajarkan Islam pun rupanya belum sepenuhnya diterima masyarakat. Untuk persiapan pernikahan maka kedua calon mempelai harus “merari” atau melarikan diri yang dimulai dengan hubungan antara keduanya yang dilaksanakan secara rahasia. Kalau fihak laki-laki yang melarikan anak orang ini sampai tertangkap dalam proses merari, ia bias dikenakan denda yang sangat tinggi atau dibunuh. Supaya merari ini berhasil, maka sang gadis harus dilarikan jauh-jauh selama satu hari satu malam. Mengingat beratnya resiko merari ini, maka biasanya pihak laki-laki melarikan diri dan bersembunyi seluruh keluarga. Hal ini adalah karena kalau pihak wanita sampai tahu keluarga yang melarikan anak gadisnya, dan kedua keluarga ini berjumpa bisa terjadi keributan. Sesudah merari ini sempurna, maka baru diadakan pendekatan-pendekatan keluarga untuk membicarakan penyelesaiannya.

Diatas telah disebutkan adanya kandang kerbau. Kerbau ini, disamping untuk kebutuhan hidangan selamatan, juga diperlukan untuk menggarap sawah. Tetapi keadaan tanah yang gersang sudah menjadikan Desa Sada menjadi daerah minus. Dan ini barangkali menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan longgarnya peraturan adat yang berkaitan dengan alang. Akibatnya, hanya orang tertentu saja yang bisa memelihara Kerbau. Dan ketika desa ini masih subur, kerbau itu dilepas saja di sawah atau diikat di pinggir desa, tetapi karena meningkatnya pencurian, kerbau ini menjadi harta yang perlu perlindungan. Sehingga hal ini menimbulkan kebutuhan pembuatan kandang kerbau di wilayah desa. Tidak ada upacara adat yang dituntut dalam pembuatan kandang kerbau. Demikian juga untuk masjid. Untuk masjid hanya diperlukan selamatan saja. Kalau ada upacarra yang dilakukan untuk membangun kandang kerbau, maka itu adalah tradisi baru yang dilaksanakan agar kandang itu kuat terhadap pencurian.

Pandangan Penduduk Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisinal
Ternyata arsitektur Sasak yang di beberapa desa terdahulu sudah mulai ditinggalkan orang karena dianggap kuno, memiliki unsur keindahan serta kewibawaan yang sangat kuat. Terutama apabila perencanaannya, pemilihan lokasinya, dan penampilan lingkungannya disesuaikan dengan kondisi alamnya, seperti Desa Sada ini, arsitektur tradisional itu seharusnya bisa tetap bertahan dan berkembang.

Masalahnya barangkali pada penyesuaian dengan tuntutan konsep-konsep baru di bidang kesehatan, teknologi, bahan dan kebutuhan-kebutuhan baru. Separuh dari responden di desa Sada ternyata masih tinggal di rumah tradisional dalam bentuk aslinya, sedangkan sisanya sudah melaksanakan perubahan-perubahan dalam penampilan fisik tradisionalnya terutama dengan menambah ruang dan mengganti bahan. Tidak satupun dari responden yang tinggal di rumah-rumah non tradisional. Tetapi ternyata hampir semua menyatakan keinginan untuk membangun dan tinggal di rumah non tradisional. Alasan utama yang dikemukakan sebagian terbesar responden ialah bahwa rumah tradisional sulit untuk dikembangkan, misalnya untuk ditambah luasnya atau disekat ruang dalamnya untuk menampung kebutuhan baru. Hanya sebagian kecil yang mengemukakan alasan-alasan tak berbobot seperti “kelihatan modern”, atau “supaya seperti tinggal di kota”. Ini sebetulnya menggembirakan karena alasan yang jelas dan mempunyai dasar kuat lebih mudah mengolahnya sebagai masukan gagasan pengembangan arsitektur Sasak.

Yang perlu mendapat tanggapan disini ialah pandangan hampir separuh responden yang menyatakan bahwa rumah tradisional tak perlu dipertahankan sama sekali, dan hanya sebagian kecil yang menyatakan perlunya pelestarian. Tetapi kalau dikaitkan dengan adat membangunnya, hanya sebagian kecil yang berpendapat bahwa tradisi-tradisi membangun rumah perlu ditinggalkan. Ini berarti bahwa kecenderungan warga desa untuk memilih rumah non tradisional kurang bertalian dengan pandangan tradisi adat, tetapi lebih kepada aspek-aspek perlunya sebuah rumah mampu menampung kebutuhan-kebutuhan baru penghuni. Dan ini tercermin dari pandangan sebagian terbesar responden yang menganggap rumah lebih dari sekedar tempat bernaung. Responden-responden ini mengatakan bahwa rumah itu juga harus bisa menampung fungsi sosial, seperti ruang duduk tamu dan kamar untuk tamu menginap, dan fungsi-fungsi lain yang secara tradisional belum disatukan dalam rumah seperti ruang mandi dan kakus, dapur, dan bermacam-macam ruang simpan yang persyaratannya berbeda misalnya gudang untuk keperluan dapur dan untuk menyimpan barang berharga.

Dalam konteks MCK, memang ada masalah sulit disini. Desa Sada ini berada di daerah kering dengan bukit-bukit gundul sisa pembakaran. Pemerintah telah menyediakan beberapa fasilitas pompa air yang cukup hanya untuk keperluan mencuci dan air minum. Tetapi beberapa fasilitas ini ditempatkan pada lokasi yang dianggap penduduk tidak tepat. Oleh penduduk fasilitas ini juga dimanfaatkan untuk mandi. Lokasinya yang terlalu terbuka, meskipun telah diberi dinding bata, dianggap penduduk tidak sesuai dengan norma kesopanan. Kamar mandi yang tutup dan bersatu dengan rumah “seperti di kota” dianggap sebagai kebutuhan baru. Tetapi masalah kesulitan air dalam keadaan sekarang ini memerlukan pemecahan ekologi yang konsep-konsep dasarnya perlu dikomunikasikan kepada masyarakat Sada, agar disadari bahwa masalah ini erat kaitannya dengan sistim pertanian mereka yaitu ladang berpindah dengan menggunduli hutan.

Sebagian terbesar responden masih memiliki lumbung-lumbung tradisionalnya. Berbeda dengan tanggapan mengenai rumah, sebagian terbesar responden masih berkeinginan untuk membangun lumbung-lumbung tradisional, meskipun persyaratan penggunaannya sudah tidak sesuai dengan kondisi dewasa ini. Masyarakat Sada melihatnya dari persyaratan adat yang harus dijaga karena lumbung ini dianggap sebagai perlambang kehidupan yang pokok, lumbung yang senantiasa penuh itu menunjukkan kestabilan hidup pemiliknya. Dalam masalah ini, tradisi menyimpang dari ketentuan produksi pangan asalkan persyaratan adat terpenuhi. Pandangan semacam ini mempunyai dasar yang kuat pada sebagian terbesar responden yang menganggap lumbung tidak hanya sekedar tempat menyimpan padi tetapi mengandung aspek spiritual budaya yang lebih jauh. Karena itu meskipun desa ini berada di daerah tandus, sebisa mungkin tuntutan tradisi mengenai lumbung dipenuhi.

Sikap responden juga tercermin pada tanggapannya mengenai pelestarian lumbung-lumbung tradisional dan persyaratan adat membangunnya. Hampir semua responden berpendapat bahwa kedua hal ini dilestarikan dalam bentuknya yang asli. Sementara itu responden-responden ini juga berpendapat bahwa bangunan lumbung itu adalah unsur terpenting dari arsitektur tradisional Sasak, sedangkan berugaq sekepat dan rumah hanya menempati prioritas kedua dan ketiga.

Mengenai berugaq, sebagian dari responden memiliki yang sekepat, sementara itu beberapa responden memiliki yang sekenem atau tidak mempunyai sama sekali. Persyaratan biaya yang berat mengakibatkan hanya sebagian saja penduduk yang memiliki berugaq sekepat, sedang sekenem yang lebih murah biaya membangunnya kurang disukai masyarakat karena derajatnya yang lebih rendah. Hal ini sangat berkaitan dengan status sosial dan kemampuan ekonomi individu. Posisinya dalam upacara tradisional dan struktur sosial Desa Sada, menyebabkan hampir setiap responden berkeinginan untuk membangun sekepat seandainya ada biaya. Sebagai tempat duduk-duduk, berugaq lebih disukai daripada ruang tamu yang ada di rumah-rumah non tradisional, karena berugaq tidak berdinding sehingga sirkulasi udara bisa maksimum, dan ini sesuai dengan iklim desa yang panas.

Karena iklim Sada, sebagian besar responden mengusahakan adanya ventilasi yang cukup dalam rumahnya, terutama dengan menambahkan lubang angin serta jendela pada beberapa rumah tradisional. Disadari atau tidak penambahan ventilasi ini telah menunjang program peningkatan kesehatan penduduk. Sebagian penduduk memiliki dapur dalam rumahnya yang sesuai dengan pola pembagian rumah tradisional, tetapi masalah ventilasinya kurang diperhatikan. Masalah kebakaran karena adanya dapur dalam rumah sudah sering didengar oleh para responden, tetapi menurut mereka akan jarang atau barangkali belum pernah ada insiden kebakaran di Sada akibat api dari dapur.
Dalam kasus Desa Sada ini, pandangan responden yang sering sangat berbobot mengenai arsitektur mereka hampir tak ada kaitan dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Sebagian terbesar responden hanya sampai pada tingkat sekolah dasar, sebagian malah tidak pernah sekolah, tetapi memang ada beberapa tokoh masyarakat yang memiliki ijazah perguruan tinggi. Sementara itu responden yang berpendidikan tinggi menduduki jabatan administratif desa yang menentukan. Sehingga pendidikan responden rupanya memang tidak menerangkan kemampuannya berpendapat, tetapi interaksi warga masyarakat yang berperan penting. Faktor pendidikan yang menunjang adalah tingkat sekolah anggota keluarga reponden. Sebagian dari responden ternyata ada yang duduk di sekolah lanjutan bahkan perguruan tinggi.

DESA SEMBALUN KECAMATAN AIKMEL, KABUPATEN LOMBOK TIMUR.
Untuk mencapai desa tersebut diperlukan menempuh jalan melingkar melalui Sajang. Tetapi jalan melingkar inipun belum memadai/ rusak berat.
Sembalun ini ternyata terdiri dari dua desa. Desa pertama yang dituju ialah Sembalun Lawang dan desa kembarannya, yaitu Sembalun Bumbung.

Legenda Asal-usul
Legenda asal-usul Desa Sembalun rupanya terdokumentasikan secara lebih lengkap dalam rakyat. Legenda yang dituturkan di bawah ini bersumber dari beberapa orang.
Sembalun ini dulu adalah sebuah kerajaan yang petilasannya ditemukan dalam bentuk makam-makam dan hasil-hasil penggalian sejarah. Asal-usul penduduk Kerajaan Sumbawa ini dulu datangnya dari Utara ( ? ) melalui Labuan Carik Desa Anyar. Sebagian dari mereka menetap di Bayan dan mendirikan kerajaan Bayan, sedang sebagian lagi menuju Sembalun. (Kalau menurut orang Bayan). Inilah yang menyebabkan eratnya hubungan penduduk Sembalun dengan Bayan.
Sekitar 700 tahun yang lalu Gunung Rinjani meletus, dan sebagian penduduknya lari menyelamatkan diri dengan dipimpin oleh sang Raja. Mereka lari berpencar ke enambelas desa, sedangkan sebagian penduduk yang tidak mau menyingkir dari bencana Rinjani semuanya punah. Ketika dirasa keadaan telah aman setelah meletusnya Rinjani, tujuh kepala keluarga memimpin warganya yang terdiri dari sekitar empat puluh orang dengan diketuai oleh Raja kembali ke Sembalun. Sampai di suatu tempat dekat Sembalun ketujuh keluarga membuat bangunan yang disebut “bale belik” yang artinya rumah besar untuk menampung ketujuh keluarga ini. Tempat ini kemudian berkembang menjadi daerah pemukiman yang dinamakan Desa Belik. Untuk mengenang ketujuh keluarga ini, di desa Belik dibangun tujuh rumah (tetapi tidak jelas bila membangunnya, tradisional/non tradisional, sudah hancur atau masih tegak).
Dari Desa Belik sebagian penduduk ada yang berpindah ke Lumpang dan mendirikan “bak malang” yaitu sebuah bangunan yang arah orientasinya berlainan dengan tradisi orang Sembalun. Dari Lumpang, desa bergeser lagi sampai ke lokasi Desa Sembalun Lawang sekarang. Sesudah itu turunan ketiga dari yang kembali ke Sembalun ada yang berpindah ke desa yang sekarang bernama Sembalun Bumbung.
Dalam menyampaikan legenda diatas, tidak ada yang menyebutkan hubungan asal-usul penduduk dengan Majapahit, tetapi diakhir uraian ada yang menyebutkan bahwa orang Sembalun itu merasa masih keturunan Kerajaan Jawa. Mengenai hal ini sebagai keterangan tambahan disebut bahwa Patih Gajah Mada beberapa kali mengunjungi Desa Sembalun. Maka kemungkinan sebagian rombongan Majapahit ini ada yang tinggal dan menetap disini, malahan ada legenda yang menyatakan bahwa Gajah Mada menghilang ( meninggal ? ) disuatu daerah dekat Sembalun dan masih ada petilasannya. Bahkan tongkat serta paying kebesaran Majapahit juga ada yang ditinggalkan dan masih ada sampai dewasa ini di Sembalun. Pada upacara-uapacara adat tertentu tongkat serta paying tersebut disertakan sebagai bagian dari kegiatan ritual. Sebagai keterangan tambahan lagi nama Sembalun itu asal katanya adalah sembah dan Ulun. Sembah artinya berbakti sedang Ulun adalah Tuhan, dan dengan demikian melambangkan bahwa orang Sembalun itu adalah masyarakat yang taat beribadah.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional
Meskipun dulu di Sembalun ini dikenal banyak jenis bangunan tradisional, sekarang yang utama hanya ada dua jenis yaitu lumbung dan rumah. Jenis lumbung yang adapun adalah yang derajatnya paling rendah yaitu “lumbung”, meskipun dulu pernah ada jenis-jenis sambi, agung dan alang. Kalau di desa-desa lain yang disurvei, biasanya derajat lumbung diletakkan diatas kedudukan rumah. Di Sembalun, baik lumbug maupun rumah derajatnya sama. Ada dua faktor yang mungkin menyebabkan keduanya mempunyai kedudukan sama. Penyebab pertama ialah karena lumbung yang sekarang masih ada adalah jenis yang derajatnya paling rendah. Faktor kedua ialah kenyataan bahwa lahan desa sudah padat oleh bangunan, sehingga kebutuhan akan lahan perumahan sudah menempati prioritas yang tinggi.

Atap di Sembalun lebih luas dari lokasi survei lainnya, yang mungkin diperlukan untuk isolasi terhadap udara dingin Sembalun. Perbedaan lain terletak pada arahnya. Wuwungan rumah di Sembalun, yang dalam bahasa mereka dikenal dengan istilah “buwung atau bung”, justru diberi arah Timur-Barat. Seperti ditempat-tempat lain, pintu rumah hanya satu, tetapi harus pada sisi utara. Ruangan dalam rumah pada pokoknya dibagi dua. Ruang disisi pendek yang luasnya seperti lantai dipergunakan untuk ruang simpan terutama beras. Sisanya yang dua pertiga untuk tidur dan dapur. Disini disediakan inanbak atau pepara yang gunanya untuk menyimpan periuk dan alat dapur. Karena perkembangan peningkatan usaha pertanian dan perkebunan yang hasilnya sudah mencapai nilai ekonomis, maka di dalam rumah tradisional yang ada sekarang disediakan juga ruang khusus untuk menyimpan hasil-hasil pertanian di samping beras. Dan ini merupakan tempat simpan utama, bukan hanya sekedar untuk keperluan sehari-hari. Lain halnya dengan padi yang ruang simpan utamanya masih lumbung, sedang yang di dalam rumah hanya untuk harian. Untuk penyekat ruang dalam rumah sering dipergunakan pagar bambu yang bagian atasnya diberi papan kayu untuk menyimpan barang. Serambi rumahnya juga dibagi menjadi serambi panjang dan pendek, hanya tak ada aturan ketat mengenai pemakaiannya, kecuali waktu ada selamatan maka serambi panjang biasanya untuk duduk tamu.

Dulu waktu masih ada alang di Sembalun, untuk membangunnya juga diperlukan tukang khusus, tetapi sekarang untuk membangun lumbung sembarang tukang bisa. Buwung dari lumbung diarahkan Timur-Barat seperti rumah dengan pintu menghadap Barat, meskipun juga kadang-kadang menghadap Timur. Menurut adat, bagian bawah lumbung tidak diperkenankan untuk dipakai ruang simpan. Tetapi sekarang ruangan di bawah lumbung sering dimanfaatkan untuk menyimpan kayu, alat pertanian, bahkan dipergunakan untuk dapur atau kandang kuda. Perubahan fungsi ini barangkali juga karena meluasnya usaha ekonomi pertanian sehingga ruang simpan dalam rumah sudah tidak memadai lagi. Untuk menampung fungsi-fungsi baru tersebut, maka kini ruangan di bawah lumbung sering diperluas dan diperkeras dengan batu.

Tata cara untuk membangun lumbung dan rumah pada umumnya sama. Sebelum pekerjaan membangun kedua bangunan ini dimulai, maka semua kayu yang dibutuhkan harus terkumpul dulu, dan untuk ini sering diperlukan waktu sampai satu minggu. Setelah kayu terkumpul baru dicari hari baik untuk melakukan satu-satunya upacara yang diperlukan yaitu upacara memotong kayu pertama kali. Perhitungan mencari hari diambil dari Bulan Arab. Dari keduabelas bulan, ada lima bulan yang tidak dipergunakan untuk membangun, yaitu : Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil akhir dan Syawal.

Pada dasarnya sembarang jenis kayu, dan bahkan bambu dapat dipergunakan (meskipun menurut adat harus kayu). Tetapi ada jenis kayu lokal yang dianggap berderajat tinggi yaitu kayu Suren. Kalau dalam pembangunan dipergunakan kayu Suren dan Nangka, maka kayu Suren harus dipakai untuk konstruksi bagian atas rumah karena kayu Nangka dan kayu lain dianggap berderajat lebih rendah dari Suren, maka apabila dipakai Suren, Nangka tidak dupergunakan, karena tidak sesuai dengan logika struktur. Seperti di Sada, penanaman atau pendudukan tiang dimulai dari sudut pandang Tenggara, dan berputar berlawanan dengan arah jarum jam. Uang logam kuno juga dipergunakan disini, dan untuk setiap tiang ditanam empat, empatpuluh, atau empatpuluh empat buah.
Untuk peresmian lumbung yang pertama kali akan diisi padi, diadakan selamatan dengan memotong ayam. Selamatan ini dipimpin oleh Kiai. Sesudah lumbung diisi, hanya wanita yang boleh menurunkan padinya, kecuali kalau berhalangan. Kecuali ada kematian, maka dalam satu hari hanya boleh satu kali saja menurunkan padi dari lumbung. Demikian juga lapisan padi paling bawah tak boleh diambil kecuali ada kematian. Tidak ada masalah mengenai jenis padi yang boleh disimpan dalam lumbung, karena di Sembalun belum dikenal padi unggul.

Dulu di Sembalun juga ada berugaq, sekarang sudah ditemui lagi karena dianggap sudah tidak ada fungsinya. Waktu berugaq masih ada yang dikenal ialah yang berbentuk sekepat. Ada beberapa hal yang bisa dipergunakan untuk menerangkan hilangnya berugaq. Desa Sembalun ini letaknya di daerah ketinggian yang udaranya dingin sekali, terutama waktu malam hari. Sehingga duduk-duduk di berugaq rasanya mungkin kurang nyaman. Sementara itu sebagian terbesar rumah di Sembalun adalah non tradisional dan memiliki ruang duduk di dalamnya yang pada waktu malam jelas lebih hangat udaranya dari berugaq. Alasan lain ialah karena orang Sembalun mengenal konsep pemilikan lahan yang dikaitkan dengan kewajiban pemeliharaan. Dewasa ini arti pemilikan lahan ini bahkan diperluas sampai konsep pemilikan lahan modern. Untuk itu penduduk Sembalun dapat mengusahakan untuk mendapat sertifikat hak milik lahan dari Kantor Agraria. Karena lahan desa semakin sempit, dan lahan itu dianggap sebagai bagian dari kekayaan, maka fungsi-fungsi sosial menjadi menurun, dan orang mengutamakan kebutuhan yang lebih vital seperti rumah dan lahan ekonomi.

Untuk membangun rumah, meskipun kehidupan desa sudah komersial, masih dikenal cara gotong royong yang segala sesuatunya dipimpin oleh “pendagi” atau ahli bangunan, atau oleh “pemula” atau pemimpin adat. Jumlah undak-undak rumah harus selalu ganjil, sedangkan makin besar jumlahnya makin kuat kelas ekonominya.
Kandang di Sembalun hanya dikenal untuk kuda dan ditempatkan di bawah lumbung. Binatang lain seperti sapi, kambing, kerbau, ayam dilepas saja. Tetapi sekarang ini, ayampun sering dibuatkan kandang.

Satu-satunya bangunan di Sembalun yang buwungnya diarahkan Utara-Selatan ialah Bale Malang, yang terletak di Lumpang. Fungsi dari bangunan ini ialah untuk menyelesaikan persoalan masyarakat melalui “keramat desa” atau semacam pengadilan adat yang dipimpin oleh tiga tokoh desa, yaitu “pemekel” yang mewakili pemerintah desa, Kiai sebagai unsur agama, dan “pemangku” atau tokoh adat. Ketiga tokoh ini harus hadir dalam keramat desa agar keputusannya sah. Keputusan yang sah yang dicapai oleh keramat desa di Bale Malang harus ditaati semua warga Sembalun.

Dalam sejarah perkembangan Sembalun terjadi suatu proses perombakan struktur sosial yang oleh penduduk dikenal dengan istilah “melebur bahasa”. Hasilnya, sekarang di Sembalun tidak dikenal lagi kasta, dan bahasa Sasak yang dipergunakan di Sembalun ialah bahasa kaum jelata. Semua orang dianggap berderajat sama. Meskipun orang Sembalun bertemu dengan kasta Raden mereka tetap merasa sederajat dan tetap menggunakan bahasa jelata. Hal ini barangkali disebabkan oleh asal-usul orang Sembalun yang bersumber dari bala tentara kerajaan Bayan yang anggotanya lebih banyak dari kasta bawah.

Mengenai perkawinan, ada dua cara proses perkawinan yang dikenal, yaitu melalui merari, dan “Selabar”. Dalam merari, setelah anak gadis dilarikan, kalau sampai pihak yang melarikan tertangkap oleh keluarga gadis maka peristiwanya akan diselesaikan melalui musyawarah dan bukannya dihukum atau terjadi perkelahian. Dalam Selabar, sesudah anak gadis dilarikan, pamong desa kemudian diberitahu dan diselesaikan melalui musyawarah. Dalam musyawarah kemudian dilakukan perhitungan jodohnya dengan hari baik. Kalau menurut perhitungan dari perkawinan atau dengan syarat-syarat lain.

Orang Sembalun ternyata yang paling terbuka dalam hal penjelasan Islam Wetu Telu. Menurut mereka ada beberapa definisi yang digunakan untuk penjelasan kepercayaan ini. Pertama dalam Agama ini Dhukun hari Jum’at, dan Isa waktu Ramadan. Penjelasan kedua menyatakan bahwa sudah sah Islam seseorang bila telah memenuhi tiga rukun Islam. Pertama, yaitu :Shahadat, Shalat dan Puasa. Yang ketiga mengatakan bahwa Wetu Telu datang dari “Wet” bahasa Belanda yang artinya undang-undang, dan Wetu Telu ini melambangkan unsur-unsur keramat desa di Bale Malang.

Pandangan Penduduk Lokasi Survei Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisional
Sangat disayangkan bahwa desa Sembalun yang masih mewarisi nilai-nilai tradisi yang tinggi, bangunan tradisionalnya sudah hampir punah. Rumah non tradisional sudah membudaya di Sembalun. Keluarga yang memiliki unsur-unsur bangunan tradisional lengkap sudah tidak ada.

Dari keseluruhan responden hanya seorang yang masih tinggal di rumah tradisional. Semua responden menyatakan, seandainya ada biaya untuk membangun maka mereka akan mendirikan rumah non tradisional yang dianggap lebih bersih dan sehat. Bertentangan dengan pendapat tersebut, mereka mengatakan bahwa ditinjau dari segi iklim, tinggal di rumah tradisional lebih menyenangkan, karena di siang hari tidak terlalu panas, sementara pada waktu malam cukup hangat untuk udara Sembalun yang sangat dingin. Meskipun kebanyakan rumah adalah bangunan non tradisional, berlainan dengan di desa-desa lain, disini masih ada penduduk yang mengarahkan rumah non tradisionalnya seperti bangunan tradisional yaitu buwungnya dihadapkan Timur-Barat. Alasan pengarahan rumah non tradisional yang disesuaikan dengan adat ini adalah karena, meskipun rumah itu dianggap hanya sekedar tempat bernaung, rumah itu adalah rumah. Tradisional atau non tradisional dianggap tidak relevan dengan aturan adat.

Dalam konteks ini, pandangan mereka tidak konsisten dengan pendapat terhadap persyaratan adat membangun rumah yang menurut sebagian terbesar menyatakan tidak perlu dipertahankan secara penuh. Rupanya ini ada kaitannya dengan pandangan agama Islam yang oleh beberapa responden sangat ditekankan terutama dalam hubungannya dengan upacara adat. Sebagian responden berpendapat bahwa tata cara yang tidak sesuai lagi dengan kaidah Islam sebaiknya ditinggalkan.

Keadaan yang sama ditemui dalam masalah lumbung. Tidak seorangpun responden yang masih memiliki lumbung tradisional. Menurut sebagian responden alasannya ada bermacam-macam. Lumbung tradisional, terutama yang jenis alang itu persyaratan adat membangunnya sangat berat sedang kegunaannya sehari-hari sudah terbatas sekali. Sementara itu, sebagai akibat usaha perkembangan pertanian. Desa Sembalun banyak sekali menghasilkan hasil bumi yang bernilai ekonomi tetapi tak bisa disimpan dalam lumbung tradisional. Untuk menyimpan hasil bumi ini lebih diutamakan daripada membangun lumbung tradisional.

Hal ini juga tercermin pada kecenderungan sebagian terbesar responden yang apabila ada biaya, lebih mengutamakan gudang hasil bumi. Ada juga yang masih berkeinginan untuk mendirikan lumbung alang, tetapi hanya sekedar untuk memelihara adat dan bukan karena kebutuhan. Karena itu hampir semua responden beranggapan tidak ada perlunya tetap mempertahankan adat-adat pembangunan lumbung. Sebagian terbesar responden kedudukan rumah dan lumbung sama tingginya, dan tidak dianggap bangunan terpenting di desa ini.

Mengenai berugaq, yang memang sudah tidak didapati lagi di Sembalun sebagian terbesar responden tidak menyatakan pendapatnya mengenai keinginan untuk membangun di masa depan, dan juga untuk melestarikan kehadirannya. Udara sembalun yang dingin menyebabkan mereka berpendapat bahwa fungsi-fungsi interaksi sosial dapat ditampung dalam rumah yang semuanya memiliki ruang duduk-duduk. Untuk memelihara adat, satu-satunya bangunan yang mereka anggap penting ialah bale Malang.
Masalah ventilasi dan penerangan alam mendapat cukup perhatian dari penduduk yang menyatakan bahwa semua rumah sekarang ini sudah ada jendela dan ventilasinya. Masalah air sebetulnya cukup sulit untuk Sembalun, banyak keluarga yang menggantungkan kebutuhan airnya dari sumur yang secara adat tidak dikenal. Sekarang banyak sumur yang malah telah dilengkapi dengan fasilitas MCK. Masalahnya adalah kedalaman sumur yang sangat bervariasi dan umumnya dianggap terlalu dalam. Meskipun sudah banyak fasilitas MCK, sebagian penduduk masih lebih senang mandi di kali. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa ruangan mandi di MCK terlalu sempit, dipakai oleh orang banyak, dan pengambilan air dari sumur masih dirasa kurang sesuai untuk keperluan mandi.

Disini banyak fasilitas pendidikan sampai tingkat SMP. Fasilitas pendidikan ini erat hubungannya dalam usaha peningkatan ekonomi masyarakat desa, tetapi rupanya kurang memberi penyuluhan akan pentingnya pelestarian arsitektur tradisional. Yang lebih menyedihkan adalah bahwa arsitektur non tradisional yang berlambang di Sembalun sangat beraneka ragam dan menyimpang jauh dari pola tradisionalnya, sehingga karakter fisik desa hampir tak ada.